APA hubungannya generasi
anak bangsa dengan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia)? Pertanyaan tersebut
menurut saya cukup menggelitik, terlebih saat ini sedang santer dibicarakan
soal kisruh yang tak kunjung reda di tubuh kepengurusan organisasi sepak bola
tertinggi tanah air tersebut.
Mulai dari
anak-anak, remaja, sampai orang dewasa di seluruh pelosok negeri hampir mengetahui
bahwa sepak bola tanah air sekarang ini sedang carut marut. Dan menyedihkan
lagi, masyarakat sudah mengetahui bahwa PSSI sudah dijadikan ’alat kepentingan’.
Kini tak lagi murni sebagai penggerak bergulirnya aktivitas persepakbolaan di
Indonesia. Yang ada hanya kepentingan pribadi dan golongan. Miris. Menyedihkan.
Kalau bicara soal
anak-anak, tentunya tak lepas dari masa depan mereka. Cita-cita mereka. Impian
serta harapan mereka. Dan belakangan ini, yang menjadi ’favorit’ setiap anak
usia dini terutama laki-laki, yaitu bercita-cita sebagai pesepakbola
profesional dan terkenal.
Adalah fakta bahwa
anak laki-laki usia dini apalagi para pelajar yang sedang duduk di sekolah
dasar (SD) begitu menggebu bercita-cita sebagai pesepakbola profesional. ”Saya
ingin menjadi pemain bola profesional yang terkenal.” Jawaban mereka akan
seperti itu ketika ditanya mau jadi apa setelah besar nanti? Atau apa cita-cita
kamu?
Kalau masih belum
percaya coba saja tanya semua murid laki-laki di sekolah atau ketika bertemu
dengan anak lelaki yang usianya sekitar 5-10 tahun-an. Mayoritas anak bakal
memilih menjadi pesepakbola sebagai impian nomor wahid yang ada di benak kepala
mereka. Malah saat ini sudah banyak anak perempuan yang menyukai permainan
sepak bola, dan bercita-cita menjadi pesepakbola, meskipun masih terbilang
jarang. Satu bukti bahwa sepak bola begitu akrab dan sagat digandrungi oleh anak-anak
usia dini. Banyak pelajaran ekstrakurikuler di berbagai sekolah baik negeri
maupun swasta diisi dengan sepak bola. Malah di luar jam sekolah pun,
kebanyakan dari anak laki-laki mengikuti sekolah sepak bola (SSB).
Sebagai warga
negara, saya sangat prihatin melihat persepakbolaan tanah air sekarang. Sering
merenung, bagaimana nasib sepak bola Indonesia ke depannya? Dan bagaimana nasib
generasi anak bangsa yang sekarang masih berusia dini yang bercita-cita menjadi
pesepakbola profesional, dan ingin mengibarkan bendera merah putih di kancah
internasional, sedangkan organisasi sepak bola dalam hal ini PSSI selaku
pemegang mandat resmi pengelola persepakbolaan sudah tak bisa diharapkan lagi
keberadaannya. Jangankan memajukan sepak bola tanah air, menyelenggarakan
program dengan baik dan benar saja tidak becus. Akibat konflik yang sudah akut
di antara para pengelola.
Apakah pengelola
PSSI saat ini tidak berpikir panjang bahwa ‘kebobrokan’ kepengurusan dalam dua
dekade sekarang bakal berdampak pada masa depan sepak bola bangsa yang akan
dialamai anak-anak yang saat ini berusia dini. Sepuluh atau 20 tahun kemudian. Tidak
perlu jauh-jauh, sekarang saja sudah memakan korban, yakni banyak para pemain
profesional yang memiliki kulitas jempolan dan dedikasi tinggi terhadap bangsa
tidak bisa membela Tim Nasional (Timnas) Merah Putih. Mereka menjadi korban
para pengelola kepengurusan. Apakah seperti ini akan dialami lagi oleh generasi
anak bangsa ke depannya?
Terhenyak jika
melihat ‘semangat 45’ anak-anak ketika berlatih sepak bola di atas lapangan. Di
kota, di desa, sampai di pelosok. Semuanya satu impian, yakni ingin menjadi
pesepakbola profesional yang bisa membela dan membanggakan bangsa. Tak
pernahkah para pengelola sepak bola (PSSI/KPSI) melihat semangat anak-anak
tersebut?
Para pengelola sepak
bola negeri ini sepertinya sudah terlalu jumawa. Mereka hanya memiliki
kepentingan di balik mati-matian mempertahankan atau memperebutkan kepengurusa PSSI.
Bila dipikir secara jernih dan dengan akal sehat, konflik tersebut tidak masuk
akal. Memperebutkan kekayaan alam atau rempah-rempah seperti zaman penjajahan
dahulu bisa dipahami, karena membuahkan hasil atau menguntungkan. Tapi
merebutkan kursi pengelolaan sepak bola Indonesia yang jelas-jelas tidak
berprestasi, tidak membanggakan, serta penuh keributan dan penganiayaan wasit
atau pemain? Patut dipertanyakan!
Kalau melihat
seperti itu, jelas sekali bahwa mereka yang sekarang menjadi pengelola termasuk
para petinggi sepak bola Indonesia tak pernah berniat membangun sepak bola
tanah air. Kelompok yang satu menjadikan PSSI sebagai ajang bisnis mereka. Dan
kelompok lainnya menjadikan PSSI sebagai kendaran politik praktis dengan
memanfaatkan basis pendukung klub sebagai lumbung suara. Cape deh!
Bisa jadi kondisi
saat ini merupakan buah dari masa lalu. Puluhan tahun yang lalu. Masuknya
orang-orang pemerintah (daerah) dan partai politik ke dalam tatanan
kepengurusan, termasuk klub, tak pernah dibenahi. Andai ada usaha membenahi,
itu hanya sekadar pencitraan. Masyarakat sudah tahu semua ini.
Dengan segala
masalah mendasar itu, memang ada baiknya FIFA menghukum Indonesia. Demi
kepentingan masa depan. Demi kepentingan generasi bangsa. Mendapat sanksi tidak
akan merugikan, toh sepak bola Indonesia juga sangat kering dengan prestasi
dalam dua dekade terakhir. Menutup diri bukan berarti Indonesia tidak bisa
membangun sepak bola di dalam negeri. Kompetisi masih bisa berjalan seperti
biasa. Penonton masih bisa hadir. Pedagang di sekitar stadion masih mungkin
mencari nafkah. Hukuman FIFA hanya akan membuat timnas dan klub Indonesia tidak
dapat bermain dengan tim asing. Itu saja.
Bahkan sangat
memungkinkan jika masa hukuman FIFA nanti dijadikan ajang pembenahan segala hal
di tubuh PSSI. Kembali ke nol, dan memulai lembaran baru. Apakah bisa? Apakah
mungkin? Sangat bisa dan besar kemungkinan akan terealisasi sepak bola tanah
air yang lebih baik lagi. Malah akan lebih berprestasi dibanding dua dekade
sebelumnya yang miskin prestasi. Banyak contohnya, Inggris. Ya seperti Negeri Elizabet
itu terkena sanksi FIFA pada 1985 akibat menumpuknya masalah. Tapi lihat
sekarang, mereka bisa menguasai kompetisi se-antero jagat lewat kompetisi
English Primer League.
Saya yakin Indonesia
bisa seperti Inggris yang menelorkan sepak bola prestatif, industrif, serta
membanggakan. Terlebih menjadi hiburan dan pertunjukan pertandingan
bermartabat. Bukan yang asal tebas kaki dan main pukul tanpa dihukum wasit.
Setelah dikenakan
sanski, Indonesia nantinya memiliki fondasi yang kuat, bagus, baik, dan benar.
Selain sebagai industri hiburan, nantinya kompetisi profesional akan terwujud
sebagai fungsi muara pembinaan sepak bola. Intinya Indonesia memiliki waktu
selama massa hukuman FIFA, yaitu membuat desain besar sepak bola tanah air.
Itupun kalau para pecinta sepak bola Indonesia masih memiliki hati untuk
memajukan sepak bola tanah air.
Dalam hal ini, sebagai
masyarakat biasa memang tidak terlalu mahir membicarakan soal PSSI dan sepak
bola tanah air terlalu jauh. Tidak seperti para pengurus PSSI dan KPSI
sekarang, kalau berbicara pada ’pinter’. Paling tidak, saya ingin mengajak
semua elemen masyarakat untuk lebih peduli terhadap generasi anak bangsa. Dalam
semua hal. Jangan sampai masalah yang dibuat oleh orang-orang tak
bertanggungjawab sekarang ini berdampak negatif pada generasi anak bangsa
mendatang.
Dan bagi siapa pun
yang mengaku sebagai insan sepak bola atau yang mencintai sepak bola tanah air,
jangan sampai membiarkan sepak bola Indonesia terus memburuk lalu menyerahkan
sepak bola Indonesia ke tangan mereka yang tengah berkonflik saat ini. Demi generasi
anak bangsa! []