BandungOke — Langit Bandung bersih pagi itu. Di sebuah gedung di Jalan PHH Mustofa, spanduk besar bertuliskan “Wisuda XXII Gelombang I” membentang, menyambut ratusan wajah muda yang bersiap menyandang gelar akademik.
Namun, alih-alih seremoni yang berakhir dengan tepukan dan tangis bahagia, Universitas Sangga Buana YPKP (USB YPKP) memilih menjadikan momen sakral itu sebagai deklarasi perlawanan: melawan dunia yang volatil, tak pasti, kompleks, dan ambigu – Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous (VUCA)
“Wisuda bukan akhir, ini awal pertempuran,” tegas Rektor USB YPKP, Dr. Didin Saepudin, SE., M.Si., dalam pidato yang menyerupai manifestonya pagi itu. Dengan nada tegas, ia menantang para lulusan untuk tidak sekadar menjadi pemilik ijazah, melainkan aktor perubahan yang membongkar ketimpangan sosial, ekonomi, dan ekologi.
Krisis Relevansi dan Tantangan Data
Didin tak menutup mata pada realitas keras di luar kampus. Merujuk data BPS dan Kemendikbudristek 2024, hanya 29 persen lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang bekerja sesuai dengan bidang studinya. Fakta ini, menurutnya, bukan hanya statistik kering, tapi sirene darurat yang menandai perlunya reformulasi total dalam pendidikan tinggi.
“Kita tak bisa terus mencetak sarjana yang bingung harus ke mana. Literasi digital, kemampuan lintas disiplin, hingga moralitas harus jadi pondasi baru. Dunia kerja tidak menunggu kita,” katanya lantang.
Akreditasi “Unggul” dan Janji Sebuah Ekosistem Baru
Di tengah tantangan itu, kampus yang dulunya dikenal kalem ini kini tampil lebih garang. Status akreditasi “Unggul” dari BAN-PT menjadi penegas arah barunya.
Bukan sekadar prestise administratif, tetapi sinyal bahwa USB YPKP ingin menjadi lebih dari sekadar tempat kuliah—yakni pusat pengetahuan untuk pembangunan daerah dan nasional.
“Ini bukan sekadar nilai akreditasi. Ini mandat untuk menjadi knowledge hub, untuk terlibat aktif dalam pembangunan,” ujar Didin, dengan nada yang tak main-main.
“Kampus Berdampak”: Dari Slogan ke Aksi
Di balik konsep ideal “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” (MBKM) yang sempat dikritik karena minim realisasi, USB YPKP merespons dengan program konkret: “Kampus Berdampak”.
Melalui program ini, mahasiswa dan dosen diarahkan bukan hanya untuk meneliti, tetapi menyelesaikan.
Riset terapan, inovasi sosial, kewirausahaan, hingga pemberdayaan UMKM menjadi senjata utama untuk membongkar persoalan masyarakat. USB YPKP seolah ingin berkata: kampus bukan menara gading, tapi markas tempur bagi perubahan sosial.
Ajakan untuk Tak Menyerah
Wisuda itu akhirnya ditutup dengan apresiasi pada orang tua dan dosen. Tapi pidato terakhir Didin membuat gema berbeda. Ia tak merayakan, tapi menantang. “Jadilah alumni yang tak hanya membanggakan, tapi juga menginspirasi dan menyulut perubahan. Indonesia menunggu kalian.”pungkasnya.
Di tengah riuh tepuk tangan, sebagian wajah mahasiswa terlihat merenung. Mungkin karena baru menyadari: perjalanan intelektual mereka baru saja dimulai, dan dunia luar tak seindah toga yang mereka kenakan.***
Editor : Denny Surya






