oleh : Iwan Setiawan
Bandung.bandungoke – Di antara jutaan kaki yang menapaki lantai marmer Masjidil Haram, dalam hembusan malam yang sarat doa dan debur dzikir, seorang ulama besar bernama Ibrahim bin Adham terlelap. Lelah ibadah menghantarnya pada mimpi—tapi bukan sembarang mimpi.
Dalam sunyi mimpinya, terdengar bisik-bisik langit. Malaikat berbicara, tidak pada manusia, tapi cukup nyaring untuk hati yang waspada.
“Tahun ini,” ucap satu di antaranya, “tak satu pun haji diterima.”
Getar itu menusuk. Ibrahim menggigil dalam tidur. Namun, malaikat yang lain menyela:
“Kecuali… karena seorang tukang sol sepatu di Damaskus. Ia tak berhaji, tapi amalnya mengangkat seluruh haji menjadi mabrur.”
Ibrahim terbangun.
Wajahnya basah entah oleh peluh atau air mata. Tapi jiwanya terbakar satu tanya: Siapa lelaki yang tak menginjak Tanah Haram, namun mengguncang pintu langit?
Ia tak menunggu fajar lain. Seusai menunaikan seluruh rukunnya, ia tak pulang ke Balkh. Ia justru menuju Damaskus, mencari seorang lelaki biasa di antara keramaian pasar dan aroma kulit sepatu tua.
Akhirnya ia temukan: lelaki tua, bersahaja, sedang menjahit sepasang sepatu usang.
“Apakah engkau Fulan bin Fulan?” tanyanya.
“Saya, tapi siapa Anda?”
Ibrahim lalu menceritakan mimpinya.
Si tukang sepatu menggigil. Ia menunduk, matanya mulai basah. Dengan suara serak ia bercerita:
“Aku menabung bertahun-tahun, sedikit demi sedikit dari menyambung sepatu. Sampai suatu hari tabunganku cukup untuk berhaji.”
“Aku sampaikan kabar itu pada istriku. Tapi ia menangis, lalu berkata lirih: ‘Aku mencium aroma masakan dari rumah tetangga. Sudah beberapa hari perut ini kosong. Bisakah kita meminta sedikit?'”
“Aku mengetuk pintu mereka, tapi yang kutemui adalah isak tangis. ‘Maaf,’ kata sang ibu, ‘makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagimu. Kami masak bangkai. Kami lapar. Anak-anak kami hampir pingsan…'”
“Aku pulang. Lalu kembali dengan membawa seluruh tabunganku. ‘Ini untuk kalian. Belilah makanan halal. Untuk tahun ini, biarlah hajiku kujalani di depan pintu rumahmu.”
“Malam itu, aku bersujud dan berkata, ‘Ya Allah, ini hajiku. Tanpa ihram, tanpa wukuf, tapi dengan kasih sayang. Terimalah.'”
Ibrahim bin Adham terdiam. Langit Damaskus seakan ikut menunduk. Lalu ia berkata:
“Engkau memang tak menginjak Ka’bah, tapi hatimu mengelilinginya ribuan kali. Engkaulah haji mabrur. Karena satu perbuatanmu, langit membuka seluruh pintunya bagi jutaan jiwa.”***






