Bukittinggi.bandungoke — Dari balik pegunungan Bukit Barisan, di tengah denyut pasar dan keringat para buruh angkut kayu manis, muncul tiga nama yang membetot perhatian: Nauli Al Ghifari, Devit Febriansyah, dan Deka Fakira Berna.
Mereka adalah potret keberanian bermimpi di tengah keterbatasan. Ketiganya berhasil menembus gerbang Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Kisah ini tak sekadar tentang kelulusan ke kampus ternama. Ini tentang bagaimana impian mampu tumbuh bahkan ketika tabungan hanya Rp1,5 juta, dan penghasilan orang tua tak menentu.
ITB, lewat kunjungan langsung rektornya, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., menyambangi ketiga pelajar ini untuk menyampaikan lebih dari sekadar ucapan selamat. Ia membawa pesan bahwa kerja keras dan semangat tak mengenal batas sosial-ekonomi.
Nauli Al Ghifari (18), siswa SMAN 1 Bukittinggi, diterima di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) ITB. Ayahnya, Pananuhon, sehari-hari menjajakan pakaian bekas di Pasar Atas dengan omzet tahunan tak lebih dari Rp8 juta. Sementara itu, Devit Febriansyah (18), satu-satunya siswa asal Kecamatan Malala yang lolos SNBP tahun ini, harus melihat kedua orang tuanya, Julimar dan Doni Afrijal, bergantung pada pekerjaan sebagai buruh angkut kayu manis untuk menyambung hidup. Warga kampung bahu-membahu mengumpulkan biaya keberangkatannya ke Bandung.
Lain halnya dengan Deka Fakira Berna, pelajar SMAN 1 Padang yang diterima di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB. Meski latar belakangnya tak banyak dikisahkan, kehadirannya melengkapi narasi optimisme dari Ranah Minang.
Ketiganya memperoleh Beasiswa KIP-Kuliah (dahulu Bidikmisi), program bantuan pemerintah untuk mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu. Namun semangat itu tak berhenti di situ.
Dalam lawatannya, Prof. Tata tak datang sendiri. Ia didampingi oleh dosen-dosen ITB lintas fakultas: D.Sc.(Tech.) Imam Santoso (FTTM), Prof. Dr. rer. nat. Apt. Sophi Damayanti (Sekolah Farmasi), serta Dr. N. Nurlaela Arief, MBA., IAPR. (SBM ITB). Turut hadir pula PT Paragon Technology and Innovation yang memberikan masing-masing satu unit laptop dan uang transportasi sebesar Rp5 juta kepada Nauli dan Devit.
“Kalian akan bertemu dengan banyak mahasiswa hebat. Jangan patah semangat, tetap berusaha yang terbaik,” pesan Prof. Tata.
Kisah Nauli, Devit, dan Deka bukan hanya cerita tentang tiga pelajar yang lolos SNBP. Ini adalah pernyataan diam bahwa mimpi anak-anak bangsa tidak boleh dikurung oleh angka-angka penghasilan. Bahwa ketika negara, perguruan tinggi, masyarakat, dan sektor swasta bersatu, jalan menuju masa depan bisa terbuka lebih lebar.
Di tengah narasi tentang kesenjangan pendidikan, tiga anak muda dari Sumatera Barat ini adalah bukti bahwa ketekunan bisa mematahkan tembok-tembok itu.
Mereka bukan hanya berhasil masuk ITB mereka telah membuktikan bahwa harapan masih hidup, menyala, dan tak mengenal kata menyerah.***