Bandung, (b) — Aroma krisis menyengat dari balik kubah Masjid Raya Bandung. Dari atap yang bocor hingga ambulans hilang, dari sapi kurban yang tinggal dua hingga aset kendaraan atas nama pribadi. Lebih dari sekadar simbol spiritual Jawa Barat, masjid ini kini berubah menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antar pejabat dan elite pengelola.
Roedy Wiranatakusumah, Ketua Nazhir Masjid Raya Bandung yang baru dilantik April 2025, angkat suara. Ia berjanji akan membenahi total Masjid Raya Bandung setelah melakukan audiensi dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM).
“Kami tidak bisa membiarkan Masjid Raya Bandung seperti ini terus. Butuh tindakan drastis dan dukungan penuh dari Pemprov,” tegas Roedy dalam konferensi pers, Rabu (11/6/2025).
Namun niat mulia itu tampaknya menghadapi tembok birokrasi. Surat audiensi ke Kepala Biro Kesra Jabar, Andrie Kustria Wardhana, belum direspons. Padahal biro inilah yang memiliki wewenang menunjuk Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) baru kepengurusan lama sudah demisioner, dan status quo dibiarkan tanpa kejelasan.
“Rekening lama masih dipegang pengurus lama, kami mulai dari nol. Audit bisa saja dilakukan, tapi saat ini belum prioritas,” ujar Roedy. Namun indikasi kejanggalan keuangan muncul dari banyak sisi. Ambulans masjid yang dijual, kendaraan atas nama pribadi, dan penurunan drastis jumlah hewan kurban menjadi sinyal kuat bahwa pengelolaan sebelumnya jauh dari transparan.
Lebih dari itu, Roedy menyebut pentingnya mengembalikan DKM di bawah struktur Nazhir untuk memastikan tata kelola yang transparan dan akuntabel. “Jika tidak ada intervensi langsung dari Gubernur, Masjid Raya Bandung tidak akan terselamatkan,” tandasnya.
Gubernur KDM: Harapan Baru atau Alat Legitimasi Lama?
Dedi Mulyadi, gubernur yang dikenal populis dan nyentrik itu, disebut-sebut akan lebih rutin berkegiatan di Masjid Raya. Bahkan Roedy menyebut kemungkinan KDM menjadi Bapak Wakaf Jawa Barat.
Namun pertanyaannya, apakah keterlibatan ini murni untuk pembenahan atau politisasi simbol keagamaan menjelang agenda-agenda politik ke depan?
Masjid Raya Bandung bukan masjid sembarangan. Ia dibangun di atas tanah wakaf milik keluarga Wiranatakusumah IV, dan Roedy merupakan keturunannya.
Sebagai Nazhir bersertifikasi, Roedy kini menakhodai sembilan anggota Nazhir dengan mandat besar: mengembalikan marwah masjid. Langkah-langkah awalnya pun ambisius: pertemuan dengan Bank Indonesia, OJK, hingga jaringan sahabat di Arab Saudi dan Brunei. Namun pembenahan internal tetap menjadi batu ujian paling krusial.
2030 dan Bayangan Shalat Pemimpin Asia-Afrika
Roedy menegaskan target besarnya: saat perayaan Konferensi Asia-Afrika 2030, para pemimpin dunia bisa shalat berjamaah di Masjid Raya Bandung. Namun waktu kian sempit. Skandal, kelambanan birokrasi, dan konflik pengelolaan bisa menjegal ambisi itu jika tidak segera ditangani.
Sejumlah kalangan menilai bahwa kasus Masjid Raya Bandung ini bukan sekadar soal atap bocor, tapi refleksi dari buruknya tata kelola wakaf di negeri ini. Jika pemerintah daerah tak bisa menyelamatkan ikon keagamaan yang berdiri di jantung kota, bagaimana bisa bicara soal visi peradaban?
Masjid Raya Bandung menanti bukan hanya renovasi fisik, tetapi pembersihan moral dari dalam. Kini bola ada di tangan Gubernur KDM dan birokrasi Kesra: bergerak cepat atau diam membusuk bersama reputasi masjid yang kian tercoreng.***