BANDUNG, BandungOke.com — Pemerintah Kota Bandung kembali melempar bola panas ke masyarakat lewat penyesuaian Harga Eceran Tertinggi (HET) gas elpiji 3 kilogram.
Di tengah ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi dan inflasi pangan yang merayap, harga gas melon—yang jadi andalan rakyat kecil—naik jadi Rp19.000 mulai 16 Juni 2025. Langkah ini dinilai prematur dan berpotensi menambah beban ekonomi warga kota.
Plt Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung, Ronny Ahmad Nurudin, menyebut penyesuaian ini “wajar” karena sejak 2015 harga belum pernah berubah. Namun, argumen ini mengabaikan konteks sosial-ekonomi masyarakat kelas bawah yang masih berjibaku memenuhi kebutuhan pokok harian.
“Harga di tingkat pangkalan akan naik menjadi Rp19.000 per tabung mulai 16 Juni. Kalau inflasi terkendali, Oktober naik lagi jadi Rp19.600,” ujar Ronny tanpa menyentuh soal perlindungan terhadap kelompok rentan.
Padahal, tak semua warga Bandung merasakan ‘stabilitas’ yang diyakini pemerintah. Banyak keluarga mengandalkan tabung melon untuk memasak sehari-hari. Kenaikan kecil pun berpotensi mengganggu anggaran harian mereka.
Ronny berdalih stok LPG tahun ini mencukupi, dengan alokasi 89.118 metrik ton untuk Kota Bandung. Tapi di lapangan, kelangkaan bisa terjadi sewaktu-waktu, terutama bila distribusi terganggu atau terjadi perbedaan harga antarwilayah.
Disdagin berdalih penyesuaian ini bertujuan mencegah migrasi tabung dari wilayah berharga rendah ke tinggi. Namun, langkah ini dinilai menutupi ketimpangan distribusi dan lemahnya pengawasan pasar.
Sementara Ketua Hiswana Migas Bandung-Sumedang, Opik Taufik, menyatakan tim pengawas sudah siap turun ke lapangan. Tapi, sejarah menunjukkan pengawasan yang lemah kerap membuka ruang bagi permainan harga di tingkat pengecer.
“Yang penting pengawasan jalan dan stok tersedia,” ujar Opik, seperti menenangkan kekhawatiran warga dengan janji lama yang belum tentu terealisasi.
Sayangnya, kebijakan ini datang tanpa komunikasi intensif kepada masyarakat. Penyesuaian harga diputuskan di ruang rapat, bukan lewat dialog terbuka. Pemerintah tampak percaya diri, meski rakyat resah.***