BANDUNG, BandungOke — Di balik seremoni pelantikan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Didi Sukyadi, Senin (16/6), terselip pesan politik dari Wali Kota Bandung Muhammad Farhan: bantu kami urus sekolah swasta.
Sebuah harapan yang tampaknya menggambarkan inkonsistensi dan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan di luar jalur negeri.
“Sekolah negeri ikut aturan kementerian, tapi swasta butuh improvisasi. Kami harap UPI bisa jadi panduan,” kata Farhan.
Pernyataan ini menyiratkan lemahnya peran dinas pendidikan lokal dalam memfasilitasi sekolah swasta, yang jumlahnya tidak sedikit dan menopang sistem pendidikan kota.
Alih-alih memperkuat pengawasan dan pendampingan dari pemerintah, tanggung jawab besar itu justru dialihkan ke institusi akademik. Padahal UPI sendiri, menurut pernyataan rektornya, tengah berjuang mengejar standar infrastruktur dan transformasi internal.
“Kita sadari masih ada kesenjangan antara standar dan capaian. UPI butuh transformasi kelembagaan besar,” ujar Rektor Didi Sukyadi. Ia menargetkan UPI jadi rujukan Asia pada 2030—target ambisius yang tidak ringan.
Kerja sama yang digadang-gadang—seperti subsidi ke sekolah swasta berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi—masih di tahap uji coba. Farhan bahkan mengakui belum ada hasil konkret karena masih dalam tahap peninjauan.
Sementara itu, kondisi banyak sekolah swasta di Bandung kian tertekan: kekurangan murid, infrastruktur terbatas, hingga kesenjangan kualitas pendidikan. Namun, alih-alih memperkuat sistem dari hulu, pemerintah memilih menitipkan beban itu kepada UPI.
Langkah Pemkot ini, meski tampak strategis, justru menyiratkan kurangnya roadmap pendidikan swasta yang konkret dan menyeluruh. Tanpa dukungan kebijakan nyata dan keberpihakan anggaran, sekolah swasta hanya akan terus jadi anak tiri sistem pendidikan.***