PURWAKARTA, BandungOke – Di tengah ketimpangan akses pendidikan tinggi di Indonesia, sebuah narasi kecil di Jawa Barat menjadi secercah terang.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyerahkan bantuan pendidikan dan laptop kepada 22 calon mahasiswa baru Institut Teknologi Bandung (ITB) dari keluarga tak mampu namun sarat prestasi.
Bertempat di Bale Sri Baduga, Purwakarta, Rabu (18/6), suasana haru menyelimuti ruangan. Bukan karena seremoni megah atau kata-kata manis penuh simbolisme politik, tapi karena esensi dari peristiwa ini begitu manusiawi: sebuah negara (atau dalam hal ini, kepala daerah) hadir secara konkret di saat paling dibutuhkan oleh warganya.
Mereka adalah calon mahasiswa baru ITB, sebagian besar dari pinggiran desa dan kota-kota kecil di Jawa Barat. Mereka datang bukan membawa privilege, tapi bukti: sertifikat olimpiade fisika, kimia, dan matematika tingkat nasional. Namun, di balik gemilang prestasi itu, tersimpan pertanyaan: mampukah mereka bertahan secara finansial di kampus terbaik negeri ini?
Dedi menjawabnya bukan dengan janji, melainkan tindakan. Rp20 juta per mahasiswa dan sebuah laptop menjadi bentuk awal dari kepercayaan. Bukan semata-mata bantuan materiil, tetapi pernyataan bahwa anak-anak ini layak dan tidak sendirian!
“Saya berpesan, tidak ada keberhasilan yang hanya menggunakan otak. Gunakan juga hati,” ucap Dedi, dengan nada teduh tapi tegas.
Mengurai Ketimpangan, Bukan Sekadar Amal
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi adalah koreksi simbolik atas realitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih berjarak bagi masyarakat yang kurang beruntung dalam segi ekonomi.
Saat negara belum sepenuhnya mampu menjangkau, kepala daerah bisa bertindak sebagai jembatan sosial.
Namun, pendekatan Dedi tak berhenti di sana. Ia memposisikan dirinya bukan sebagai pemberi bantuan, tapi orang tua asuh, sebuah istilah yang mengembalikan relasi kuasa ke titik yang lebih egaliter: saling percaya.
Di hadapan para rektor, dekan, dan dosen ITB, termasuk Rektor ITB Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., dan influencer pendidikan Dr. Imam Santoso, Dedi menanam benih kepercayaan jangka panjang. Bahwa investasi terhadap manusia terutama mereka yang tak dilirik pasar adalah investasi paling penting.
“Selamat kuliah ya. Saya akan terus memberikan support kepada anak-anak Jawa Barat untuk terus maju,” ucap Dedi, yang sejak lama dikenal vokal soal kesenjangan sosial.
Misi Akademik yang Tidak Elitis
ITB, sebagai institusi akademik elite, menyambut gerakan ini dengan lapang dada. “Hari ini adik-adik telah menggapai salah satu bintang. Tapi ini baru awal. Ini adalah amanah,” kata Rektor Tatacipta.
Ia mengingatkan bahwa perjuangan baru saja dimulai. Dengan kutipan dari Bung Karno “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”, rektor ingin menanamkan bahwa pendidikan bukan sekadar hak istimewa, tapi tanggung jawab moral.
Apalagi jika kesempatan itu diperoleh karena tangan-tangan lain yang telah membuka jalan.
Kesembilan fakultas dan sekolah tempat para mahasiswa ini diterima, kini memikul harapan kolektif: bahwa akademia bukan milik mereka yang punya kuasa modal saja. Bahwa meritokrasi bisa hidup, asal diberi peluang.
Bantuan yang Membuka Jalan Pulang
Lebih dari sekadar ‘lulus kuliah’, program ini menyisipkan satu pesan penting: pulanglah. Pulang ke desa, pulang ke kampung halaman, bawa ilmu dan bangun kembali tanah yang dulu membesarkan.
Program Orang Tua Asuh dari Gubernur Dedi mungkin terlihat kecil di antara hiruk-pikuk politik elektoral. Tapi ia menyodorkan satu realitas keras: akses pendidikan tinggi masih butuh keberpihakan.
Dan keberpihakan itulah yang, pada akhirnya, melahirkan peradaban.***






