Bandung, BandungOke — Wacana rumah subsidi dengan luas hanya 18 meter persegi menuai kontroversi. Bagi sebagian orang, ini solusi efisiensi. Namun bagi para arsitek dan pegiat perumahan, ini adalah titik nadir dari krisis kepedulian negara terhadap hak hidup layak.
Dalam forum diskusi terbuka bertajuk Polemik Rumah Subsidi 18m², Georgius Budi Yulianto, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia, menegaskan bahwa rumah bukan hanya unit ekonomi atau angka dalam laporan tahunan pemerintah.
“Ini bukan hanya soal atap dan dinding. Rumah adalah sistem kehidupan. Kalau terlalu kecil, anak-anak tidak bisa tumbuh optimal, keluarga tidak punya ruang untuk berinteraksi sehat,” tegas Bugar panggilan akrab Georgius, Jumat (20/6/2025) di De Kamasan, Bandung.

Ia mengutip sejumlah studi yang menunjukkan korelasi kuat antara keterbatasan ruang hidup dan peningkatan stres, kekerasan domestik, hingga penyebaran penyakit.
Di Indonesia, ujarnya, di mana TBC masih menelan 14 nyawa per jam, kualitas hunian bukan hanya isu sosial, tetapi juga isu kesehatan publik.
Dalam Permen PUPR No. 689/KPTS/M/2023, rumah subsidi boleh dibangun sekecil 21 m². Namun Georgius menilai, kebijakan itu masih jauh dari ideal. “Kalau rumah terlalu kecil, kualitas hidup akan dikorbankan. Anak-anak kehilangan ruang belajar, orang tua kehilangan ruang pribadi. Ini tidak adil.” tegasnya.
Masalah lainnya, lahan tidak pernah benar-benar habis, hanya terkonsentrasi. Ia mendorong agar pajak progresif diterapkan untuk tanah tidur dan idle land yang dikuasai korporasi atau individu.
“Masyarakat butuh rumah. Tanah ada. Tapi akses terhadap tanah dan pendanaan itu yang timpang. Kalau tidak segera ditata, ini bom waktu sosial,” tambahnya.
Georgius juga menyinggung pentingnya membangun rumah sesuai konteks lokal. Tidak bisa ada satu ukuran untuk semua. “Arsitektur harus menyerap kearifan lokal. Rumah di Aceh harus beda dengan di Maluku. Kita ini negeri kepulauan artinya kearifan lokal jangan ditinggalkan,” katanya.
Dengan segala kompleksitasnya, Georgius menilai penyediaan rumah rakyat harus dilandasi visi keadilan spasial. “Minimal 30% dari zona permukiman harus dialokasikan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kalau tidak, akan terjadi segregasi sosial yang makin lebar.” pungkasnya.***