Bandung, BandungOke, — Di tengah polemik pengelolaan Kebun Binatang Bandung (KBB), suara-suara keras mulai menggema dari tokoh masyarakat Sunda. Bukan sekadar konflik lahan atau manajemen, isu ini kini meruncing ke soal identitas dan harga diri budaya.
“Kami melihat seperti ada grand desain tertentu dari sekelompok orang untuk mengambil alih Kebun Binatang Bandung,” kata Rully H. Alfiady, tokoh masyarakat Jawa Barat, dalam sebuah pernyataan tegas yang memantik tanya lebih dalam, siapa yang sedang bermain di balik layar pengambilalihan?
Rully mengatakan, KBB bukan sekadar taman wisata. Ia adalah warisan budaya dan sejarah panjang masyarakat Sunda terutama warga Bandung. Sejak didirikan pada tahun 1933, bahkan sebelum republik ini lahir, KBB telah menjadi bagian dari denyut kota.
Menurutnya, jauh sebelum pemerintah menunjukkan kepedulian pada tahun 1957, masyarakat Sunda sudah lebih dulu merawat dan membesarkannya.
“Kalau pun ada kerja sama dengan berbagai pihak, silakan saja. Tapi jangan pernah merebut apalagi menggusur budaya orang Sunda demi kepentingan kelompok tertentu,” ujar Rully.
Lebih dari itu, menurut Rully, ada sesuatu yang lebih besar daripada kepemilikan administratif. Ada yang tidak bisa ditukar dengan nilai komersil yakni martabat!
Bagi masyarakat Bandung, KBB bukan hanya tempat rekreasi. Ia adalah simpul memori kolektif, pusat edukasi, ruang konservasi satwa, dan penanda peradaban lokal yang bertahan di tengah arus zaman.
“Menyerahkannya kepada pihak luar tanpa landasan moral dan kultural yang kuat, sama saja membiarkan warisan Sunda dilucuti secara perlahan,” katanya.
Rully menekankan, eksistensi KBB semestinya dikembalikan kepada yang sah secara historis dan kultural. “Yakni keluarga Ema Bratakusumah yang menginisiasi sejak awal. Ini soal etika dan penghormatan terhadap sejarah,” tandasnya.
Kini, saat berbagai kepentingan ekonomi mencoba mendikte arah pengelolaan, pertanyaannya bukan lagi siapa yang paling kuat secara hukum, tapi siapa yang paling peduli terhadap warisan budaya ini.
Sebab bila KBB jatuh ke tangan yang salah, kita bukan hanya kehilangan kebun binatang, melainkan juga sepotong jiwa orang Sunda.***