Bandung, BandungOke – Bau busuk menusuk hidung, lalat beterbangan, dan jalanan yang menyempit akibat tumpukan sampah.
Itulah pemandangan harian di sekitar Pasar Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung. Di tengah hiruk pikuk kota yang mengaku sebagai “kota kreatif”, realitas di lapangan memperlihatkan wajah lain dari Bandung: kota yang nyaris tak sanggup mengurus sampahnya sendiri.
Jumat pagi (27/6), deretan sampah menjulur hingga ke bahu Jalan Gegerkalong Hilir. Di titik-titik tertentu, sampah sudah mulai merambah ke badan jalan, menciptakan semacam “tumpukan darurat” yang mengalihkan arus lalu lintas.
Pengendara terpaksa melambat, pejalan kaki menutup hidung, dan warga sekitar menyesali kenyataan.
“Bau sampahnya menyengat sekali. Anak saya sampai batuk-batuk. Sekarang saya jadi enggan belanja ke pasar,” ujar Indriyanti (49), warga sekitar, dengan wajah kesal dan masker yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Pasar Gegerkalong bukan satu-satunya yang jadi korban. Namun pasar ini menjadi simbol kegagapan kota dalam menata persoalan dasar: sampah. Seolah sistem angkut-angkut buang sudah tak lagi memadai, tapi alternatifnya pun tak kunjung muncul.
Roda Ekonomi Tersendat, Warga Jadi Korban
Pedagang tak kalah geram. Awang (56), pedagang ikan asin, mengeluh omzetnya merosot tajam sejak aroma menyengat dan tumpukan sampah menjadi pemandangan tetap pasar. “Kadang orang nyebut ini pasar bararau sampah (beraroma sampah). Mana ada yang betah belanja lama-lama?” ujarnya lirih.
Beberapa pedagang bahkan tetap membuka lapak di sisi tumpukan sampah. Mereka bertahan, karena tak ada pilihan. Pasar yang dulu jadi urat nadi ekonomi warga kecil, kini menjadi tempat yang dihindari.
Masalah sampah, sejatinya, adalah persoalan klasik Bandung. Tapi tetap saja selalu datang sebagai kejutan. Seolah-olah kota ini tak belajar apa-apa dari krisis-krisis sebelumnya: dari darurat TPA Sarimukti hingga kebijakan tambal sulam pengangkutan yang tak pernah selesai.
Ketiadaan solusi struktural, lemahnya kontrol di lapangan, dan tumpang tindih kewenangan antara dinas pasar, kebersihan, hingga kewilayahan, membuat persoalan ini menjelma menjadi rutinitas yang membusuk. Secara harfiah.
Kota Tanpa Gigi, Warga Tanpa Harapan
Pemerintah Kota Bandung terlihat lamban dan minim inisiatif. Alih-alih hadir cepat di titik-titik krusial, respons yang muncul cenderung normatif: mengimbau, menunggu, atau menutupi persoalan dengan jargon-jargon bersih.
Bandung, yang dulu dikenal sebagai Parijs van Java, kini berhadapan dengan kenyataan muram: jalanan yang tertutup sampah, pasar yang ditinggalkan pembeli, dan warga yang mulai apatis terhadap fungsi negara di tingkat lokal.
Jika masalah ini tak segera ditangani dengan keseriusan lintas sektor, jangan salahkan jika warga memaknai ulang kota ini bukan sebagai tempat tinggal yang nyaman, tapi sebagai kota yang membiarkan warganya menghirup busuknya kelalaian.***