Bandung, BandungOke.com – Di tengah riuh wacana industrialisasi desa yang menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) menggandeng Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam satu langkah strategis: mendigitalisasi koperasi dari akar rumput.
Hari itu, Kamis, (26/6/2025) Gedung Rektorat ITB menjadi panggung pertemuan dua kutub penting pembangunan ekonomi nasional—negara dan ilmu pengetahuan. Wakil Menteri Koperasi, Dr. Ferry Juliantono, datang tak sekadar bersilaturahmi. Ia membawa mandat besar: melibatkan ITB sebagai think tank negara dalam membangun sistem koperasi desa yang berbasis data, riset, dan teknologi.
“Kami sepakat bahwa ITB harus kembali menjadi pusat pemikiran kebijakan negara. Terutama dalam membangun koperasi yang tangguh dan modern,” ujar Ferry dikutip Sabtu (28/6/2025)
Pemerintah tengah menggulirkan program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP)—proyek masif yang diklaim telah melahirkan lebih dari 80.000 koperasi di desa-desa hanya dalam hitungan bulan.
Di balik angka bombastis itu, muncul tantangan tak kalah besar: bagaimana koperasi tersebut bisa hidup, produktif, dan berkelanjutan?
Di sinilah ITB diminta turun tangan. Lewat koperasi internalnya, Koperasi Keluarga Pegawai ITB (KKP ITB), kampus teknik ternama ini sudah memiliki pengalaman konkret dalam menjalankan unit usaha modern—dari simpan pinjam, warung digital, hingga layanan transportasi dan e-commerce.
KKP bahkan menjadi arena sociopreneurship bagi mahasiswa SBM ITB.
Menurut Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, kolaborasi ini bukan sekadar bentuk tanggung jawab akademik, tapi juga bagian dari misi memperluas dampak nyata kampus terhadap ekonomi rakyat. “Kami ingin agar inovasi dan teknologi dari kampus tak hanya berhenti di jurnal, tapi hidup di desa-desa,” tegasnya.
Namun kerja sama ini bukan tanpa tantangan. Digitalisasi koperasi bukan sekadar soal aplikasi atau QRIS. Kemenkop menyadari, banyak koperasi desa masih gagap dalam manajemen, tata kelola, hingga penilaian kredit.
Untuk itu, Kemenkop membuka pintu pelatihan dan pendampingan SDM koperasi desa—yang akan melibatkan para dosen dan peneliti ITB.
Sektor inklusi keuangan juga menjadi medan tempur baru. ITB digandeng untuk membantu mengembangkan dompet digital koperasi, sistem pembayaran berbasis QRIS, dan tabungan digital bagi pelaku usaha desa. Di sinilah teknologi kampus diuji: apakah mampu menjembatani digitalisasi yang berpihak pada rakyat kecil?
Di ujung diskusi, kedua belah pihak menyepakati rencana konkret: mulai dari penyusunan kebijakan berbasis data desa presisi, pengembangan teknologi pertanian, hingga pembangunan incubator koperasi desa.
Visi besar mereka: menjadikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi desa yang mandiri dan tahan guncangan.
Apakah langkah ini akan menjadi cetak biru kebangkitan ekonomi rakyat atau sekadar proyek mercusuar?
Waktu dan political will akan menjadi hakimnya. Yang pasti, ITB kini punya peran lebih dari sekadar penghasil sarjana teknik: ia diminta menjahit ulang peta ekonomi desa Indonesia.***






