‘Ngomong Aja di YouTube!’ : Gaya Baru Kekuasaan yang Membuang Media
Bandung, BandungOke.com – Pada suatu siang yang teduh di kampus Universitas Pakuan Bogor, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berdiri di hadapan ratusan mahasiswa. Ia berbicara dengan gaya khasnya: santai, blak-blakan, dan kali ini, menusuk langsung ke jantung ekosistem informasi publik.
“Transparansi adalah keterbukaan. Pemimpin sekarang tidak harus pakai anggaran negara. Bisa lewat TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook,” ujarnya, yang kemudian ramai dibicarakan publik setelah video pidatonya diunggah ke kanal UNPAK TV, 24 Juni 2025.
Ucapan itu bukan sekadar ajakan beradaptasi di era digital. Itu adalah deklarasi sikap—sebuah arah baru yang secara terang benderang menegaskan: media massa tak lagi diperlukan. Negara bisa berbicara langsung ke rakyat, tanpa wartawan, tanpa redaktur, tanpa iklan media cetak atau slot siaran.
Bahkan lebih tajam lagi, Dedi menambahkan:
“Kalau saya tidak punya YouTube, mungkin saya sudah jadi sasaran demo karena ucapan saya kerap dipotong.” dikutip Sabtu (28/6/2025)
Pernyataan itu seperti pisau yang mengiris pelan, tapi dalam. Bagi insan pers, ini bukan kritik biasa. Ini adalah bentuk pelemahan struktural terhadap fungsi jurnalisme, dibungkus dengan jargon keterbukaan ala algoritma.
Pemerintahan Tanpa Media: Siasat atau Sabotase Demokrasi?
Kebijakan Pemprov Jawa Barat yang dalam dua tahun terakhir memangkas drastis anggaran untuk kemitraan media bukanlah kebetulan.
Ini pola. Ketika pejabat memilih jadi content creator dan menutup kanal verifikasi eksternal, yang terjadi bukan efisiensi melainkan monopoli narasi.
Langkah itu kontras dengan prinsip demokrasi deliberatif, di mana media berperan sebagai arena kritik dan klarifikasi. Pemerintah yang sehat justru memperkuat hubungan dengan media, bukan memutusnya.
“Media punya fungsi kontrol yang tak bisa digantikan YouTube pribadi. Setiap berita diverifikasi, disunting, dan dipertanggungjawabkan,” kata Dr. Nurudin, pakar komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Lebih lanjut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam riset tahun 2020 menyebut bahwa kolaborasi antara pemerintah dan media memperkuat literasi publik serta menumbuhkan kepercayaan.
Maka, ketika Pemprov Jabar memotong anggaran media, publik patut bertanya: Apakah ini efisiensi anggaran, atau justru strategi membungkam kritik?
Algoritma Bukan Akuntabilitas
YouTube mungkin murah dan menjangkau luas. Tapi platform ini tak mengenal prinsip keberimbangan. Ia hanya menayangkan apa yang ingin ditampilkan sang pengunggah. Tanpa ruang tanya, tanpa hak jawab, dan tanpa proses penyuntingan yang ketat.
“Kalau saya tidak punya YouTube…” adalah pernyataan kunci. Ia menggambarkan mentalitas baru pejabat publik yang ingin bebas bicara tanpa tanggung jawab kolektif.
Padahal, dalam sistem demokrasi, kekuasaan butuh penyeimbang—dan jurnalisme adalah benteng terakhirnya.
YouTube bukan problem. Yang jadi soal adalah ketika media sosial dijadikan pengganti total media massa.
Saat pejabat publik menghindari ruang tanya, menolak dikritik, dan lebih memilih “monolog digital”, maka informasi publik berubah jadi etalase propaganda.
Demokrasi Tanpa Wartawan: Masa Depan yang Suram
Tak butuh media—begitu kira-kira pesan tersirat Dedi. Tapi sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kritik akan menjelma jadi kekuasaan yang lupa diri.
Dalam setiap transisi otoriter, salah satu yang pertama dikebiri adalah kebebasan pers.
Kini, langkah kecil itu tampaknya sedang diuji coba di Jawa Barat. Gubernurnya memilih siaran satu arah. Anggaran untuk media ditutup. Kritik dijawab dengan konten. Dan publik dibiasakan menerima informasi dari sumber tunggal—sang penguasa sendiri.
Jika ini dianggap efisiensi, maka demokrasi sedang dijalankan dengan kalkulasi dagang. Jika ini dianggap keterbukaan, maka rakyat hanya disuguhi suara penguasa tanpa hak sanggah.***