Bandung, BandungOke – Rabu malam yang seharusnya tenang di Kebun Binatang Bandung berubah menjadi arena konflik terbuka.
Sekira pukul 23.30 WIB, ketegangan pecah antara 80 karyawan Bandung Zoo dan petugas keamanan dari Red Guard vendor keamanan yang dikontrak oleh manajemen baru versi Taman Safari Indonesia (TSI).
Bukan bentrok biasa. Peristiwa ini menyeret isu legalitas, kekuasaan, dan pengamanan aset keuangan lembaga konservasi tertua di Jawa Barat ini.
Di tengah kekacauan itulah, Gantira Bratakusuma, pembina Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), mengalami luka di dahi akibat tersikut oleh salah satu personel Red Guard. Kejadian ini menjadi simbol bahwa tarik-menarik penguasaan kebun binatang tak lagi sekadar administrasi. Sudah masuk ranah fisik.
Tanpa Kontrak, Tanpa Hak, Tapi Menjaga?
Red Guard diketahui tidak memiliki kontrak resmi dengan YMT, entitas yang mengklaim sebagai pengelola sah berdasarkan Akta Notaris Nomor 40 Tahun 2024.
Namun, kelompok keamanan itu tetap berada di lokasi, seolah mengukuhkan kehadiran TSI sebagai pengendali baru.
“Kami tidak pernah mengontrak mereka. Keberadaan Red Guard adalah bentuk intimidasi,” ujar Gantira lantang. Dalam peristiwa malam itu, ia mengambil tindakan tegas: mengganti seluruh kunci ruangan keuangan dan meminta Red Guard mundur dari lokasi.
“Perhatian! Saya pembina YMT yang sah. Ini langkah pengamanan aset keuangan yayasan,” serunya di hadapan petugas keamanan dan para pekerja yang mulai berkerumun.
Namun tindakan itu justru memicu ketegangan. Suara perempuan histeris terdengar saat situasi memanas dan saling dorong tak terelakkan. Di balik benturan fisik ini, tersirat pertarungan antara legitimasi hukum versus pengaruh korporasi.
Konflik yang Tak Lagi Tersembunyi
Serikat Pekerja Mandiri Derenten (SPMD) yang sejak awal bersikukuh mempertanyakan legalitas TSI, langsung turun tangan.
Mereka mengambil alih pengamanan ruang keuangan dan menegaskan tidak akan membiarkan aset lembaga “dikunci oleh pihak luar.”
Ketua SPMD Yaya Suhaya terlihat berjaga bersama para pengurus hingga pagi. “Ini bukan hanya soal kunci dan ruang. Ini soal siapa yang sah, siapa yang memaksa,” ucapnya.
Kondisi ini menjadi refleksi gamblang betapa carut-marutnya tata kelola lembaga konservasi di Indonesia. Di tengah absennya kehadiran Pemkot Bandung dan kementerian terkait, konflik internal berubah menjadi perebutan ruang secara fisik.
Satwa-satwa yang harusnya jadi perhatian utama, justru terpinggirkan oleh narasi kuasa dan kekuasaan.***