Bandung, BandungOke.com – Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoo kembali menjadi panggung kekisruhan tata kelola konservasi satwa di Indonesia.
Sejak Maret 2025, muncul dualisme kepengurusan yang memicu kegelisahan di antara karyawan. Pemicunya: kedatangan sejumlah orang yang mengklaim sebagai perwakilan Taman Safari Indonesia (TSI), membawa narasi perdamaian sepihak yang diklaim terjadi antara pihak mereka dan Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT).
Namun, narasi perdamaian itu dibantah oleh keluarga Bratakusumah selaku pendiri YMT karena tidak pernah terjadi. Namun TSI tetap tak bergeming, mereka tetap masuk dengan manajemen ganda yang mendadak dibentuk, mulai dari posisi General Manager hingga Humas. Bahkan, sistem keamanan diganti dengan vendor baru. Semua ini berjalan tanpa kejelasan legalitas.
“Kondisi ini membuat karyawan resah dan tertekan,” kata Yaya Suhaya, Ketua Serikat Pekerja Mandiri Derenten (SPMD), yang kini sudah memiliki 120 anggota dan resmi terdaftar di Dinas Ketenagakerjaan Kota Bandung. Minggu (6/7/2025)
Mereka bukan sekadar bersuara. SPMD telah melaporkan kekisruhan ini kepada Komisi IV DPRD Kota Bandung dan melayangkan surat audiensi kepada Wali Kota Bandung.
Menurut Yaya, para pekerja telah berulang kali meminta pihak yang mengaku dari TSI untuk menunjukkan bukti legalitas kepengurusan baru. Namun permintaan itu tak pernah dijawab tuntas. “Yang kami minta hanya salinan resmi, bukan janji atau omong kosong,” tegasnya.
Hingga akhirnya muncul secercah kejelasan. Salah seorang pengurus Yayasan Margsatwa Tamansari (YMT) Gantira Bratakusumah menunjukkan salinan akta No. 41 yang diterbitkan pada Oktober 2024, yang menyebut struktur kepengurusan sah dari Kebun Binatang Bandung. “Kami menyambut baik hal itu,” ujar Yaya.
Namun, tak berhenti di situ. Keresahan meningkat ketika sistem pembayaran tiket diubah dari digital menjadi tunai. “Uang tunai menumpuk di bagian keuangan. Kami khawatir rawan penyalahgunaan,” kata Yaya. Maka, pada Rabu (2/7) lalu, para pekerja mengambil alih ruang keuangan—bukan untuk menguasai, melainkan untuk mengamankan aset yang dianggap rentan disalahgunakan.
Yaya menegaskan bahwa aksi mereka bukan pemberontakan. “Kami hanya ingin fokus merawat satwa dan melayani pengunjung sebaik mungkin,” ujar Yaya. Mereka membuka diri terhadap siapa pun, baik dari YMT maupun pihak luar, selama dapat menunjukkan legalitas yang sah.
Kisruh ini bukan hanya soal kekuasaan atau jabatan. Di baliknya, kata Yaya, ada mandat besar yang dipertaruhkan. Pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberi izin konservasi kepada Yayasan Margasatwa Tamansari, berlaku hingga 2033. “Kami bergerak untuk mempertanggungjawabkan izin itu,” tandas Yaya.
Seperti diketahui, Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoo adalah rumah bagi ratusan satwa, namun kini berada di tengah tarik-menarik kepentingan yang belum jelas ujungnya. Sementara itu, satwa dan pengunjung hanya bisa menunggu: siapa yang sebenarnya layak dipercaya untuk mengelola kebun binatang ini.***
Editor : Denny Surya