Jatinangor, BandungOke.com – Saat ribuan mahasiswa bergerak menyiapkan arena “Robot Basketball” di GOR Futsal ITB Jatinangor pada 7–8 Juli 2025, sesungguhnya lebih dari sekadar persaingan kecepatan dan akurasi robot.
Di balik gemuruh roda gigi dan gelak tepuk penonton, terhampar upaya strategis memperkuat ekosistem riset robotika nasional.
Kompetisi Kontes Robot ABU Indonesia (KRAI) 2025 bukan hanya ajang seleksi menuju ABU ROBOCON Asia Pasifik di Mongolia. Bagi ITB, ini adalah kesempatan menguji kapabilitas infrastruktur, kolaborasi lintas fakultas, dan kesiapan sumber daya manusia unggul.
Namun, kepercayaan sebagai tuan rumah juga memunculkan pertanyaan: sejauh mana kesiapan lembaga – dari fasilitas hingga jejaring industri – mampu menekan risiko menjadi sekadar “panggung” ketimbang wahana inovasi berkelanjutan?
“Venue seluas setengah lapangan basket ini dirancang untuk mencerminkan kompleksitas tantangan nyata,” kata Ketua Panitia, Ir. Vani Virdyawan, S.T., M.T., Ph.D. dikutip Selasa (8/7/2025)
Arena yang memadukan dribble, passing, dan kontak antar-robot memang menyuguhkan sensasi kompetitif baru. Namun di balik gemerlapnya, butuh jaminan kelayakan keamanan, standarisasi teknis, dan evaluasi pasca-event untuk menciptakan data empiris yang bermanfaat bagi riset lanjutan.
Sebanyak 40 tim mendaftar, 24 lolos babak nasional, termasuk tim tuan rumah. Angka ini mencerminkan antusiasme tinggi, tetapi tidak menjamin pemerataan akses: perguruan tinggi di wilayah menengah dan tim tanpa sponsor besar kerap kesulitan memenuhi standar hardware dan logistik.
Bila tak diatasi, celah itu akan melebar, justru menghambat visi mendorong “talenta unggul” secara inklusif.
Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., menegaskan, “KRAI adalah ajang inovasi sekaligus laboratorium sportivitas.” Namun, laboratorium sejati menuntut dokumentasi proses—mulai desain robot, data kegagalan, hingga analisis performa—yang dapat diakses publik dan dijadikan bahan kajian akademik.
Tanpa itu, gelaran grandiose hanya menjadi catatan rutin di agenda tahunan tanpa jejak perkembangan ilmu.
Direktur Kemahasiswaan ITB, Prof. Dr. Muhamad Insanu, S.Si., M.Si., menambahkan, “Kami ingin kelancaran dan kenyamanan peserta prioritas.” Kenyamanan adalah syarat mutlak, tetapi keterbukaan hasil dan kolaborasi lintas sektoral—dengan industri, lembaga penelitian, dan pemerintah daerah—jauh lebih penting untuk menumbuhkan ekosistem yang resilient.
Pada akhirnya, KRAI 2025 di ITB berpotensi membuka lembaran baru bagi riset robotika nasional. Namun, tonggak sejarah ini harus diiringi komitmen menata ekosistem: membangun jalur transfer teknologi, memfasilitasi publikasi ilmiah, dan merancang program pendamping bagi tim-tim yang tertinggal dari segi sumber daya.
Tanpa langkah-langkah tersebut, gemuruh robot di lapangan fana akan pudar, tersapu hiruk-pikuk acara besar tanpa warisan ilmu yang mendarah daging.***
Editor : Deny Surya






