BANDUNG, BandungOke.com – Di tengah gegap gempita wacana pemulihan ekonomi dan penguatan budaya lokal, Pemerintah Kota Bandung bersama Bank Indonesia Jawa Barat dan Pemprov Jabar kembali menggulirkan sebuah event megah bertajuk Sunda Karsa Fest 2025.
Namun di balik sorotan lampu panggung, pertunjukan budaya, dan parade pejabat, muncul pertanyaan, apakah UMKM benar-benar naik kelas atau hanya jadi tontonan kelas dua?
Event yang akan digelar 17–20 Juli di Trans Studio Mall dan Trans Convention Center itu menggabungkan Karya Kreatif Jawa Barat, Pekan Kreatif, hingga Festival Ekonomi Syariah. Klaimnya menciptakan sinergi budaya, digitalisasi, dan ekonomi inklusif.
Namun, nyatanya, pemandangan rutin tiap tahun tak banyak berubah, selebrasi besar-besaran, sambutan bombastis, dan janji-janji manis yang menguap usai karpet digulung.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyebut kota ini bukan lagi Gotham City, tapi “event city”. Sebuah pernyataan satir yang menyiratkan bahwa alih-alih menyelesaikan problem dasar kota yakni kemacetan, tata ruang kumuh, dan UMKM yang mati suri, kita justru tenggelam dalam semarak acara yang tampak mewah di permukaan.
“Kami siap mendukung penuh. Bandung adalah kota event. Ini berkah bagi perekonomian,” ujar Farhan, seolah capaian ekonomi daerah kini cukup dilihat dari jumlah acara yang digelar.
Deputi Kepala BI Jabar, Muslimin Anwar, menyebut program ini sebagai cara BI membentuk ekosistem inklusif dengan digitalisasi dan pembiayaan UMKM.
Namun faktanya, masih banyak pelaku usaha kecil yang terseok-seok memahami QRIS, apalagi mengakses pembiayaan lewat sistem makroprudensial yang terdengar seperti mantra asing.
Dinas Pariwisata Jawa Barat pun ikut bersuara. Sebanyak 27 kabupaten/kota akan membawa kampung wisata ke pameran. Tapi, di balik narasi promosi budaya, tak sedikit Pokdarwis yang dibina tanpa pendanaan cukup, tanpa roadmap jangka panjang. Tugas memberdayakan berubah menjadi sesi seremonial dan pameran sesaat.
Acara Sunda Karsa memang menjanjikan banyak. Dari fashion walk, lomba band antar-bank, hingga layanan publik on-the-spot. Namun publik patut bertanya: siapa yang benar-benar menikmati manfaatnya? UMKM atau elit-elit ekonomi yang sudah mapan?
Jika pemerintah serius ingin membangun ekosistem ekonomi inklusif, maka pendekatannya tidak bisa berhenti di level event. Ia butuh intervensi struktural, pendidikan literasi keuangan dari hulu ke hilir, dan tentu saja, keberpihakan nyata kepada pelaku usaha kecil, bukan sekadar tepuk tangan di pembukaan acara.***
Editor : Deny Surya






