Bukan sekadar jeritan, film ini menyodorkan pertanyaan: siapa sesungguhnya manusia pemangsa itu?
JAKARTA, BandungOke.com – Tak banyak film horor Indonesia yang berani menjelajahi ranah ketakutan yang lebih konseptual dan menyentuh akar sosiologis masyarakat.
Labinak: Mereka Ada Di Sini, film produksi Anami Films yang dijadwalkan tayang mulai 21 Agustus 2025, melangkah ke wilayah itu dengan berani, mereka membuka babak baru dalam genre horor lokal yang selama ini sering tersandera oleh formula hantu dan teror visual.
Disutradarai Azhar Kinoi Lubis dan dibintangi Raihaanun, Nayla Purnama, Arifin Putra, hingga Giulio Parengkuan, Labinak tampil dengan narasi yang menyeret penonton masuk ke jurang kekerasan sistemik dan kengerian psikologis, lewat cerita tentang ritual kanibalisme dalam sebuah sekte elite bernama Bhairawa.
Namun di balik kengerian daging yang dikoyak dan darah yang ditumpahkan, Labinak menawarkan daging narasi yang lebih bernutrisi—tentang ketimpangan sosial yang membusuk, kekuasaan yang rakus, dan manusia-manusia biasa yang terjepit di antaranya.
Najwa, Ibu Biasa di Dunia yang Tak Biasa
Raihaanun tampil memukau sebagai Najwa, seorang guru honorer yang berangkat ke Jakarta dengan harapan memperbaiki nasibnya dan anaknya, Yanti (Nayla D. Purnama).
Tapi seperti jutaan orang yang menumpang hidup di ibu kota, harapan itu segera berhadapan dengan realitas keras: diskriminasi kelas, kekerasan seksual, dan akhirnya, jebakan elitisme yang mengubah tubuh manusia menjadi komoditas.
“Najwa bukan tokoh fiksi. Ia adalah representasi perempuan-perempuan pekerja yang hidupnya digerus sistem,” ujar Raihaanun dalam konferensi pers dikutip Sabtu (12/7/2025)
Kisah Najwa membuat film ini terasa begitu manusiawi, bahkan ketika kita sedang menonton aksi ritual kanibalisme. Ia adalah suara-suara kecil yang jarang terdengar dalam narasi besar perfilman horor.
Bhairawa: Sekte, Sistem, dan Simbol Kekuasaan
Sekte Bhairawa, dalam film ini, bukan sekadar simbol iblis atau kelompok pemuja setan. Mereka adalah representasi dari elite—mereka yang hidup berkecukupan, memanipulasi moralitas, dan menjadikan tubuh orang miskin sebagai tumbal atas keberlangsungan kekuasaan.
“Ketika yang berkuasa tidak lagi melihat manusia sebagai manusia, maka mulailah kanibalisme sosial itu terjadi,” ucap produser Sanjeev Bhalla.
Di titik ini, Labinak menjadi lebih dari sekadar film horor. Ia adalah refleksi brutal dari bagaimana kekayaan dan kekuasaan bisa memutarbalikkan nilai, bahkan sampai ke titik paling ekstrem: memakan manusia lain.
Atmosfer Horor yang Tidak Mengumbar, Tapi Mengendap
Azhar Kinoi Lubis mengarahkan film ini dengan ritme yang lambat, namun membangun ketegangan yang konstan.
Ia lebih memilih mengunci penonton dalam atmosfer yang mencekam secara emosional ketimbang sekadar menakut-nakuti secara visual.
Dengan latar rumah mewah yang dingin, kamar gelap yang sunyi, dan ritual yang nyaris tanpa dialog, penonton akan merasa dicekam bukan oleh suara, tapi oleh beban makna.
“Saya ingin membuat horor yang pelan tapi menghantui. Seperti rasa takut yang tidak selesai meskipun film telah usai,” ujar Azhar Kinoi Lubis.
Di tangan Azhar, horor bukan hanya genre, tapi bahasa untuk mengungkap luka struktural dalam masyarakat. Setiap sunyi di layar seolah menjadi gema dari diamnya keadilan sosial.
Simbol, Refleksi, dan Rasa Tak Nyaman
Labinak: Mereka Ada Di Sini mengajak kita menyaksikan bagaimana sistem bisa mengkanibalisasi orang-orang biasa. Najwa dan anaknya adalah representasi mereka yang tak punya pilihan, dipaksa menerima nasib dari kelas sosial yang terus-menerus dikalahkan.
Film ini meninggalkan rasa tidak nyaman. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia tidak menawarkan jalan keluar mudah. Tidak ada pahlawan, tidak ada kemenangan. Yang tersisa adalah pertanyaan: siapa sebenarnya monster dalam dunia ini?
Penutup: Film Horor yang Tak Sekadar Menakutkan
Di tengah deretan film horor yang berlomba mengagetkan, Labinak memilih jalan sepi yang lebih filosofis.
Ia tidak berteriak. Ia membisikkan kengerian dengan nada rendah, tapi menusuk tajam ke dalam batin.
Film ini mengingatkan kita bahwa horor paling menyeramkan bukanlah yang bersifat supranatural, tapi justru yang bersumber dari kemanusiaan yang telah kehilangan nurani. Labinak menatap kita, menantang kita untuk melihat ke cermin, dan bertanya: apakah kita sedang memakan sesama tanpa menyadarinya?






