Bandung, BandungOke.con — Wacana besar tentang Indonesia Emas 2045 boleh jadi tinggal jargon kosong jika pemerintah terus mengabaikan ekosistem pendidikan tinggi non-negeri.
Padahal, lebih dari separuh mahasiswa Indonesia justru ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Namun, perhatian dan anggaran negara masih tertumpu pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Menurut Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jawa Barat, Dr. R. Ricky Agusiady, S.E., M.M., Ak., CfrA., CHRM, jalur penerimaan mahasiswa baru di PTN yang terbuka lebar melalui Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP), Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT), dan jalur mandiri membuat kuota mahasiswa baru di PTS semakin tergerus. Padahal, biaya masuk PTN melalui jalur mandiri kerap dinilai lebih mahal.
“Bangku perkuliahan saat ini hampir 60–70 persen disediakan PTS, sementara PTN hanya 30–40 persen,” kata Ricky dalam diskusi bersama Forum Wartawan Pendidikan Jawa Barat, baru-baru ini, di Sekretariat ABPPTSI Jabar, Jalan Surapati No 189, Kota Bandung.
Ia menilai, masih kuatnya stigma PTN lebih baik dibanding PTS di masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Padahal, dengan adanya akreditasi, kualitas PTN dan PTS seharusnya setara.
Indonesia Butuh Cetak SDM Berkualitas
Ricky menyoroti visi Indonesia Maju di era Presiden terpilih Prabowo Subianto melalui program Asta Cita. Menurutnya, ada paradoks antara cita-cita membangun SDM unggul dengan kenyataan di lapangan.
“Kalau pendidikan tidak diperlakukan setara, pembangunan SDM hanya akan menjadi jargon. Padahal membangun SDM itu investasi jangka panjang. Tidak seperti beli barang. Butuh waktu, biaya, dan proses,” tegas Ricky yang merupakan Ketua YPKP, yayasan dari USB YPKP Bandung.
Ia menambahkan, Indonesia harus memiliki blue print pendidikan hingga 2045. Dengan bonus demografi yang dimiliki saat ini, kualitas pendidikan harus ditingkatkan melalui kebijakan konkret dan dukungan nyata pemerintah.
“Kita lihat di negara seperti Jepang, Inggris, dan Korea Selatan, PTN dan PTS itu tidak ada perbedaan kualitas karena dukungan dari pemerintah,” tegas Ricky.
Perlakuan Berbeda, PTS Dirugikan
Ricky menilai, selama ini PTN mendapat banyak kemudahan dari negara. Dari lahan, dosen, hingga anggaran operasional sebagian besar ditopang pemerintah. Sementara PTS kerap dibiarkan berjuang sendiri.
“Kalau pemerintah tidak hadir membantu PTS, bonus demografi 2045 hanya akan jadi mimpi. Kita justru terancam kekurangan angkatan kerja sejak 2030, karena pola generasi muda yang menikah terlambat, punya anak sedikit, bahkan childfree,” ujarnya.
Ia mencontohkan betapa sulitnya PTS mendapat keringanan biaya operasional seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk sarana prasarana pendidikan.
“Potongan PBB 40 persen saja perjuangannya luar biasa sulit (di Bandung), itu pun hanya satu bidang tanah. Harusnya selama lahan dipakai untuk pendidikan, dibebaskan pajaknya. Kalau tidak bisa menambah PTN, ya PTS harus diberdayakan,” kata Ricky.
Usulan BOM untuk Mahasiswa
Ricky pun mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat hadir dengan kebijakan nyata. Ia menyarankan adanya Bantuan Operasional Mahasiswa (BOM), mirip seperti BOPD atau BOS di jenjang sekolah.
“Undang-Undang Perguruan Tinggi jelas, PTN dan PTS sama-sama berhak dapat bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat maupun daerah. Kalau Gubernur bilang kewenangannya hanya sampai SMA, berarti ada yang tidak sinkron antara UU Pemda dan UU Perguruan Tinggi. Harusnya diselaraskan,” jelasnya.
Industri Harus Terlibat
Agar lulusan PTS dan PTN terserap maksimal di dunia kerja, Ricky mendorong sinergi kurikulum kampus dengan kebutuhan industri. Ia meminta Gubernur Jabar membuat kebijakan agar industri di Jawa Barat wajib membuka kuota magang minimal 10 persen dari jumlah karyawan untuk mahasiswa di sekitar lokasi usaha.
“Dengan magang, mahasiswa punya pengalaman kerja nyata. Pemerintah juga harus memposisikan PTN dan PTS sebagai mitra, bukan pesaing. PTS yang belum unggul bisa didampingi PTS mapan atau PTN agar kualitasnya setara,” pungkasnya.
Ricky berharap pemerintah daerah dan pusat benar-benar hadir mendukung ekosistem pendidikan tinggi, agar Indonesia benar-benar siap menghadapi bonus demografi, bukan hanya wacana.
“Kalau dibiarkan, angka pengangguran bisa melonjak, dan berpotensi meningkatkan angka kriminalitas di masa depan,” pungkasnya.***
Editor : Deny Surya






