Bandung.BandungOke.com — Di tengah derasnya arus informasi digital, suara jurnalis justru tenggelam dalam gelombang konten viral tak bertuan.
Anggota Komisi I DPRD Jawa Barat dari Fraksi PDI Perjuangan, Rafael Situmorang, mengungkap kenyataan pahit, profesi wartawan kini dipaksa berbagi ruang dengan para buzzer bayaran.
“Ketika semua dianggap ‘media’, maka kerja jurnalistik yang serius jadi tak dihargai. Wartawan profesional disamakan dengan pemilik akun medsos. Ini bisa mematikan profesi pers yang sesungguhnya,” kata Rafael, Minggu (13/7/2025), di Bandung.
Rafael menyebut penyamaan tersebut bukan sekadar kekeliruan, tapi bentuk pembiaran sistemik yang membahayakan masa depan demokrasi. Di ruang digital, kata dia, siapa pun kini bisa menjadi “produsen berita”—tanpa etika, tanpa verifikasi, tanpa tanggung jawab.
“Pers bukan sekadar membuat konten. Ini adalah kerja profesional yang berpijak pada kode etik dan akurasi. Sementara para buzzer hanya mengejar keterlibatan, demi cuan dan klik, tanpa memikirkan dampaknya pada publik,” tegasnya.
Rafael menuding, buzzer-buzzer ini justru dilanggengkan melalui pendanaan pemerintah, lewat proyek komunikasi publik yang tak selektif. “Kalau anggaran komunikasi publik diberikan ke akun anonim atau influencer tanpa badan hukum, maka pemerintah ikut berkontribusi dalam pembunuhan karakter pers,” tegasnya.
Menurut dia, situasi ini semakin rawan menjelang pemilu. Distorsi informasi dan agitasi digital bisa menggiring opini publik dengan narasi yang menyesatkan. Dan parahnya, masyarakat tak lagi bisa membedakan mana jurnalisme, mana propaganda.
“Literasi media kita darurat. Warga dibanjiri informasi, tapi tak punya alat untuk memilah mana fakta, mana hoaks. Pemerintah harus hadir di sini, bukan justru menyejajarkan pers dengan buzzer,” kata legislator dari Dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi itu.
Rafael juga mendorong Pemprov Jabar agar mendukung media profesional yang berbadan hukum dan tunduk pada regulasi Dewan Pers.
“Kalau demokrasi ingin sehat, maka pers lokal harus diperkuat. Jangan biarkan suara jurnalis tenggelam di tengah hiruk-pikuk algoritma medsos,” pungkasnya.***