Bandung. BandungOke – Pemerintah Kota Bandung kembali melempar wacana ambisius: membangun 30 sentra kuliner di tiap kecamatan.
Digadang-gadang sebagai upaya penguatan ekonomi kerakyatan, proyek ini justru menimbulkan pertanyaan: seberapa serius pemerintah kota menata sektor UMKM secara nyata, bukan sekadar pencitraan?
Wacana ini diumumkan dalam Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Santika, Selasa, 15 Juli 2025. Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, menyebut program ini sebagai bagian dari janji politik: mendirikan UMKM Center di tiap kecamatan dengan memanfaatkan rumah warga sebagai toko dan inkubator bisnis.
“Bukan hanya mencetak pengusaha baru, tapi juga membantu keluarga yang membutuhkan penghasilan,” kata Erwin.
Pernyataan itu terdengar manis. Namun, janji pemberdayaan UMKM sudah berulang kali dilontarkan sejak pemimpin kota berganti, dan nyaris selalu berakhir sebagai jargon dalam presentasi FGD atau headline siaran pers.
Belum jelas bagaimana mekanisme kurasi pelaku UMKM, bagaimana skema pembiayaan berbasis APBD, CSR, dan lembaga keuangan akan diakses secara adil dan transparan. Tak kalah penting: adakah studi kelayakan menyeluruh yang menjamin 30 sentra kuliner ini tidak sekadar proyek seremonial tanpa dampak ekonomi signifikan?
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Bandung, Budhi Rukmana, menyebut bahwa “sentra kuliner” ini akan menjadi ruang usaha bersih, aman, dan strategis — meski selama ini penataan PKL saja masih jadi PR besar yang tak kunjung tuntas.
“Pertumbuhan kuliner selama ini sering tidak dibarengi dengan penataan lokasi yang baik,” akunya. Sebuah pengakuan yang jujur — namun sayangnya, datang dari instansi yang bertanggung jawab langsung.
Pernyataan Budhi seakan menampar balik Pemkot sendiri. Jika penataan selama ini buruk, bagaimana warga bisa percaya bahwa kali ini akan berbeda?
Alih-alih menjadi solusi penataan PKL, sentra kuliner ini justru rawan menjadi proyek mercusuar yang menjanjikan mimpi, tapi minim realisasi. Masih segar dalam ingatan, proyek-proyek sebelumnya seperti revitalisasi alun-alun dan koridor jalan protokol yang dibanjiri pedagang justru memicu kekacauan ruang kota.
Janji soal “keadilan sosial” dan “akses usaha yang adil” akan terdengar kosong bila tidak disertai transparansi data, mekanisme evaluasi, serta pelibatan komunitas akar rumput secara nyata, bukan sekadar undangan FGD di hotel.
Pemkot Bandung sebaiknya tidak sekadar sibuk menata kata-kata dalam forum, tapi serius menata lapak-lapak UMKM di lapangan. Warga sudah kenyang dengan janji. Yang dibutuhkan sekarang: bukti.***
Editor : Deny Surya