BANDUNG, BandungOke.com — Kota Bandung kembali jadi panggung euforia kolektif yang dibalut jargon sehat dan gaya hidup aktif.
Pocari Sweat Run 2025 siap digelar akhir pekan ini. Ribuan pelari dari berbagai kota akan memadati pusat kota, menyusuri jalan-jalan protokol yang biasanya dipakai warga untuk bekerja, berdagang, atau sekadar beraktivitas.
Lomba lari tahunan yang dulu identik dengan Gedung Sate kini bergeser ke Balai Kota. Dengan empat kategori 5K, 10K, Half Marathon, dan Kid Dash, ajang ini tak ubahnya pesta besar yang menutup wajah kota dari warganya sendiri.
Dalam releas yang disampaikan oleh Pemkot Bandung, Mulai tengah malam, Sabtu dan Minggu, hampir seluruh jantung kota akan dibekukan untuk memberi ruang pada pelari.
Dari Jalan Merdeka hingga Dago, dari Asia Afrika sampai Gatot Subroto, denyut kota akan terhenti demi sepatu-sepatu lari, kamera ponsel, dan panggung-panggung kecil promosi merek.
Pemerintah Kota Bandung meminta masyarakat “mengerti.” Lewat jalur alternatif yang sempit, kendaraan pribadi dan umum diimbau “mengalah” dari Sabtu pukul 00.00 hingga Minggu pukul 10.00.
Sementara mereka yang tetap nekat masuk rute lomba, akan dihadang blokade dan konvoi marshal.
Pemerintah menjanjikan bahwa parkir tidak akan semrawut, dengan menyediakan kantong parkir di mal dan masjid. Tapi kita tahu, realitas Bandung adalah satu, jalan sempit, kendaraan bejibun, dan parkir liar yang sulit dicegah.
Ajang ini diklaim bukan sekadar lomba, tapi “simbol kota kreatif dan sehat.” Tapi benarkah? Apa benar lari ini membawa dampak positif nyata bagi warga kota? Atau hanya menjadikan ruang kota sebagai panggung sementara para influencer, sponsor, dan pejabat yang haus pencitraan?
Tak semua warga bisa ikut lari. Banyak yang justru akan terjebak di rumah, kehilangan akses jalan, bahkan potensi kehilangan nafkah akibat toko atau warung yang terisolasi. Tidak semua orang memandang olahraga sebagai hiburan, apalagi jika dibarengi penutupan akses publik.
“Pocari Run bukan sekadar event, tapi wajah baru kolaborasi kota,” kata narasi resmi dari Pemkot Bandung. Namun apakah kolaborasi itu melibatkan warga yang jalannya ditutup? Yang harus mengubah rute kerja atau kehilangan pelanggan karena kemacetan?
Seharusnya, kota dibangun untuk semua. Bukan hanya untuk mereka yang punya waktu dan fisik untuk berlari. Gaya hidup sehat tak seharusnya jadi alasan untuk mematikan hak mobilitas publik.
Pocari Sweat Run memang telah menjelma jadi ajang besar yang mencolok. Tapi ia juga menelanjangi satu hal: betapa kota ini lebih mudah menutup jalan untuk festival dan lari, ketimbang menata trotoar yang layak bagi pejalan kaki sehari-hari.***
Editor : Deny Surya






