BANDUNG, BandungOke.com – Pemerintah Provinsi Jawa Barat boleh bangga. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan realisasi belanja mereka disebut melampaui rata-rata nasional. Namun, benarkah kinerja fiskal ini telah menyentuh denyut kehidupan rakyatnya?
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan bahwa belanja dan PAD Jawa Barat akan melonjak di semester II tahun 2025. Realisasi belanja APBD Jabar hingga Juli sudah 38,79 persen, lebih tinggi dari rerata nasional 31,8 persen.
PAD pun menyentuh 44,72 persen dari target fiskal, juga melampaui rerata nasional yang mentok di 43,62 persen.
Namun, pertanyaan krusialnya, belanja meningkat, tapi untuk siapa?
Deputi Kepala Perwakilan BI Jabar, Muslimin Anwar, menyebut pelonggaran kebijakan anggaran mulai terasa. Proyek infrastruktur besar yang tertunda di semester I, katanya, akan dikebut di semester II, termasuk proyek strategis nasional (PSN) yang menumpuk di Jawa Barat.
Tapi realitas di lapangan, jalan rusak, kemiskinan wilayah selatan, dan minimnya akses air bersih di daerah pinggiran tetap jadi wajah buram pembangunan.
“Belanja proyek infrastruktur, khususnya PSN, akan lebih dioptimalkan,” ujar Muslimin dikutip Rabu (16/7/2025). Hal ini seolah menepis kekhawatiran publik soal lambannya serapan anggaran selama ini.
Lebih lanjut, Muslimin menyoroti perlunya memperluas sumber PAD dari sektor non-kendaraan bermotor. Program pemutihan pajak kendaraan disebut efektif, termasuk peningkatan pendapatan dari pajak reklame.
Tapi nyatanya, publik juga mengeluhkan beban pajak yang semakin luas jangkauannya, mulai dari UMKM hingga pemilik kios kecil yang mulai dicekik pajak daerah.
Muslimin bahkan menyinggung ekspor kerajinan tangan UMKM Jabar yang disebut masih “bagus.” Tapi apakah itu cukup untuk menopang ketahanan ekonomi warga?
“Pasar bisa digeser ke Eropa atau Timur Tengah jika AS menerapkan pajak tinggi,” katanya. Sebuah harapan yang terlalu jauh, sementara pedagang kecil masih berjibaku mencari pembeli lokal.
Di sisi lain, Sekda Jabar Herman Suryatman menjual narasi optimisme. APBD Jabar, katanya, memiliki kapasitas fiskal lebih dari Rp31 triliun, terbesar ketiga di Indonesia.
Tapi rakyat tak butuh angka-angka menawan jika tak menyentuh dapur mereka.
“Pak Gubernur selalu mengingatkan agar belanja APBD dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat,” ujar Herman. Tapi bukti di lapangan? Realisasi proyek seringkali molor, kualitasnya dipertanyakan, dan manfaatnya kabur.
Di tengah angka-angka manis dan jargon “bermanfaat untuk rakyat,” tak sedikit warga yang bertanya: kenapa jalan masih rusak? Kenapa RS daerah masih antre? Kenapa sekolah rusak tak kunjung diperbaiki?
Anggaran boleh naik, serapan boleh membaik, tapi manfaat langsung ke rakyat tetap menjadi teka-teki terbesar dari megabudget APBD Jabar.
Jika PAD terus membengkak tapi kualitas hidup stagnan, maka pantas publik bertanya: APBD ini untuk siapa?***
Editor : Deny Surya