Bandung, BandungOke.com – Dua hari menjelang gelaran Pocari Sweat Run 2025, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan tampil tegas: semua perangkat daerah wajib siaga penuh. Kota harus tampak bersih, rapi, aman, dan siap jadi tuan rumah yang baik.
Farhan bahkan turun langsung memantau jalur lari, memimpin rapat koordinasi, memberi instruksi teknis dari pengelolaan sampah hingga pengaturan billboard.
“Event ini harus bersih dan tertib,” katanya lantang, Kamis, 17 Juli 2025.
Namun pertanyaannya adalah, sejak kapan kota ini hanya bersih jika ada event nasional? Dan mengapa semua baru tampak sigap ketika kamera sudah standby?
Wali kota meminta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menertibkan titik-titik billboard strategis. Tapi warga tahu, selama ini wajah kota justru dijejali spanduk liar dan papan iklan tak berizin. Kenapa baru sibuk sekarang?
Instruksi lain dilayangkan ke Dispora untuk menjaga komunikasi dengan komunitas. Padahal, komunitas justru sering mengeluhkan minimnya pelibatan dalam kebijakan kota.
Apakah undangan lari bisa menghapus tahun-tahun pembiaran?
Sampah pun kembali jadi sorotan. DLH diminta waspada. Tapi sejarah membuktikan, tiap usai pesta, yang tersisa hanyalah tumpukan botol plastik dan janji-janji manis soal lingkungan.
Farhan juga menyuruh Dinas SDA dan Bina Marga mengamankan pencahayaan dan parkir. Koordinasi lalu lintas wajib dengan polisi. Semua harus solid, katanya, agar tidak ada korban jiwa. “Jangan sampai ada kecelakaan,” tegasnya.
Ucapan itu terdengar baik. Tapi keamanan dan keselamatan seharusnya bukan kerja semusim. Kota ini terlalu sering gagap pada hal mendasar. Terlalu tergesa mengejar citra, namun abai pada sistem.
Pos kontrol dari PC1 sampai PC9 disebut tak boleh ada yang luput dari pantauan. Sayangnya, warga juga tahu dalam banyak agenda kota sebelumnya, pos pengawasan kerap tak lebih dari formalitas. Tanda tangan hadir, tapi siapa yang benar-benar berjaga?
“Pocari Sweat Run 2025 adalah kerja bareng,” kata Farhan. “Kita tinggal terima hasilnya kalau koordinasi dan korporasi jalan baik.”
Pernyataan yang terdengar matang. Tapi publik menagih lebih dari seremoni dan lari massal. Karena kota yang baik bukan dinilai dari event besar, melainkan dari bagaimana ia melayani warganya, jauh setelah banner dicabut dan panggung dibongkar.***
Editor : Deny Surya