Bandung, BandungOke.com — Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung mengambil panggung dalam Pocari Sweat Run 2025 dengan memboyong layanan Bank Sampah Induk (BSI) Go ke arena lari di Kiara Artha Park.
Kampanye pengelolaan sampah itu dikemas ramah dan ringan. Tapi pertanyaannya adalah seberapa dalam pengaruhnya?
BSI Go hadir selama empat hari, 16–19 Juli, setiap pukul 13.30–17.00 WIB. Dengan modal KTP dan sekantong sampah anorganik, warga bisa langsung menjadi nasabah.
Klaimnya mudah, cepat, bermanfaat. Faktanya? Ini butuh lebih dari sekadar euforia event musiman.
Pasalnya, alih-alih menyentuh akar masalah pengelolaan sampah perkotaan, DLH terkesan menggantungkan harapan besar pada gimmick kegiatan. Seruan “Yuk, nabung sampah!” bertebaran di media sosial, namun tidak disertai dengan strategi keberlanjutan yang jelas.
Sampah anorganik seperti botol plastik, kertas, logam, kaca, hingga minyak jelantah memang bisa dikonversi menjadi saldo di bank sampah. Tapi, dalam konteks kota metropolitan seperti Bandung, problem utamanya bukan sekadar edukasi satu hari di acara lari, melainkan sistem yang tidak pernah selesai dibenahi.
DLH menawarkan layanan konsultasi pembentukan unit bank sampah di tingkat RT, RW, hingga sekolah dan komunitas. Namun minim insentif, nihil insfrastruktur, dan lemahnya kontrol pasca-implementasi membuat program ini sering mandek di tengah jalan.
“Bandung sudah terlalu sering jatuh cinta pada program kampanye, bukan pada hasil,” sindir salah satu pemerhati lingkungan lokal.
Apakah BSI Go ini akan berumur panjang? Ataukah hanya jadi dekorasi ramah lingkungan di tengah kerumunan yang sibuk memburu medali dan feed Instagram?
Kepala Diskominfo Kota Bandung, Yayan A. Brilyana, dalam siaran persnya menyebut BSI Go sebagai bukti bahwa Pemkot serius mendorong gaya hidup berkelanjutan. Tapi lagi-lagi, publik menanti bukti, bukan sekadar narasi.
Masalah sampah Bandung bukan tentang kekurangan slogan, melainkan kekurangan solusi yang berani dan terukur.***
Editor : Deny Surya