BANDUNG, BandungOke.com — Usai riuh rendah langkah ribuan pelari Pocari Sweat Run Indonesia 2025, sisa-sisa perayaan menyisakan potret lain tumpukan sampah di sepanjang jalur kota.
Dus minuman, gelas plastik, dan botol kosong berserakan di titik-titik water station, mencoreng wajah Bandung yang mengaku kota kreatif dan ramah lingkungan.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung tak menunggu lama. Kepala DLH, Darto, langsung mengerahkan tim sweeper—pasukan penyapu jejak—yang diklaim siaga tepat setelah pelari terakhir melintas.
“Semua orang bisa lihat, begitu pelari terakhir lewat, tim langsung bergerak. Fokus di titik-titik water station yang paling rentan,” ujar Darto, Sabtu pagi, 19 Juli 2025.
Ironisnya, meski volume sampah terlihat menumpuk, DLH ogah bicara soal bobot. Alasan mereka sampah ringan tak relevan ditimbang.
“Yang terangkut itu sebagian besar sampah ringan, jadi kita ukur berdasarkan volume saja. Kalau pakai satuan ton, tidak relevan,” kata Darto. Alasan normatif yang menghindar dari angka pasti.
Tak hanya mengandalkan petugas DLH, pemerintah kota turut menggandeng komunitas lingkungan Ingram. DLH menyebut mereka “terbukti efektif”—klaim yang belum diuji dengan data rinci di lapangan.
Darto juga melontarkan pujian bagi panitia dan warga yang disebut turut membantu menjaga kebersihan. Namun, ia tetap harus mewanti-wanti agar kebiasaan membuang sampah sembarangan tidak menjadi budaya baru pascalomba.
“Penanganan kali ini cukup terkonsep. Besok untuk kategori 21K kami terapkan metode yang sama,” imbuhnya optimistis.
Tapi pertanyaan menggantung, jika konsep sudah dirancang matang, mengapa jejak sampah masih sempat mengotori jalur?
Apakah penanganan ‘cepat’ cukup menambal citra kota yang tertinggal oleh jejak dus, cup dan botol kosong?
Pemerintah boleh bangga mengklaim pembersihan kilat. Namun publik juga berhak bertanya, kapan budaya bersih akan benar-benar ditanamkan sebelum acara, bukan sekadar dipoles setelahnya?***