Oleh: Holil Aksan Umarzen
Pengamat Budaya dan Ketua Forkodetada Jawa Barat
Bandung, BandungOke – Dalam iklim demokrasi yang makin terbuka dan partisipatif, harapan rakyat terhadap sosok pemimpin semakin jelas: mereka butuh figur yang sistemik, visioner, dan konsisten dalam kebijakan publik.
Namun di tengah gelombang populisme digital, muncul figur seperti Dedi Mulyadi—yang nyaris tak pernah absen dari linimasa, dengan gaya khas nyunda, bahasa lembut, dan aksi-aksi sosial yang menggugah emosi publik.
Dedi bukan sekadar politisi. Ia piawai membungkus panggung kekuasaan dengan narasi budaya yang indah di permukaan, namun sayangnya kerap tipis dalam substansi.
Apa yang terlihat sebagai kepedulian, kerap tak diiringi kedalaman kebijakan. Yang dipertontonkan publik adalah sentuhan, bukan sistem.
1. Kebijakan Spontan yang Minim Kajian
Dedi sering merespons cepat isu sosial, namun kebijakan yang lahir darinya cenderung spontan dan tidak melalui kajian akademik memadai.
Contoh paling kentara, perubahan nama RSUD Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih. Perubahan itu lebih mencolok di permukaan ketimbang berdampak pada kualitas layanan kesehatan. Branding didahulukan, pelayanan dikesampingkan.
2. Budaya Sebagai Kostum, Bukan Nilai
Narasi Sunda begitu kental dalam gaya Dedi. Ia tampil dengan pakaian adat, bahasa daerah, dan simbol-simbol lokal di setiap kontennya. Namun substansi budaya Sunda seperti musyawarah, keteladanan, kesantunan, dan welas asih jarang tampak dalam keputusan kebijakan.
Budaya, dalam konteks ini, hanya jadi dekorasi panggung kekuasaan—sekadar kostum, bukan nilai yang dihayati.
3. Ritual dan Syariat: Campur Aduk yang Membingungkan
Dalam banyak tayangan digitalnya, Dedi kerap mencampuradukkan ritual budaya Sunda dengan ekspresi keagamaan.
Upaya ini mungkin dimaksudkan untuk mendekatkan spiritualitas dengan budaya lokal, namun efeknya justru bias. Masyarakat awam kian sulit membedakan antara pelestarian budaya dan sinkretisme keyakinan.
Tanpa kejelasan tafsir, yang hadir bukan kesadaran transenden, tapi glorifikasi masa lalu.
4. Panggung Emosional Tanpa Arah Kebijakan
Konten Dedi Mulyadi sering viral: menyuapi tukang becak, mendengarkan curhat warga, menangis di hadapan kemiskinan.
Ia berhasil membangun kedekatan emosi, namun gagal menjabarkannya ke dalam peta kebijakan publik yang sistematik. Rakyat diberi pelukan, tapi tak diberi solusi jangka panjang.
5. Fokus pada Simbolisme, Lupa pada Pelayanan
Pembangunan gerbang adat, ornamen nyunda di fasilitas publik, atau pemugaran ruang-ruang simbolik memang terlihat indah.
Tapi masalah layanan publik yang lebih mendesak seperti antrean di rumah sakit, inefisiensi birokrasi, dan pemborosan anggaran sering terabaikan. Akademisi dari UPI bahkan menilai pendekatan ini sebagai “kosmetik budaya” sibuk membenahi kulit, tapi lupa isi.
6. Diskriminasi Kultural yang Terselubung
Menonjolkan identitas Sunda tanpa membuka ruang dialog lintas budaya berpotensi menciptakan eksklusivitas. Di daerah majemuk seperti Jawa Barat, hal ini berisiko menyingkirkan ekspresi budaya non-Sunda dalam ranah sosial-politik. Kepemimpinan berbasis kebudayaan seharusnya menjadi jembatan inklusi, bukan alat segregasi.
7. Gagasan Barak Remaja: Disiplin atau Dominasi?
Wacana pendirian “barak militer” bagi remaja sebagai upaya pembinaan disiplin menuai kontroversi. Rocky Gerung menyebutnya sebagai bentuk “kediktatoran budaya” yang menyamar. Generasi muda bukan hanya butuh disiplinitas, tapi juga ruang kritis, pendidikan karakter, dan kebebasan berpikir. Gagasan militerisasi remaja lebih mirip represi lembut ketimbang upaya pembentukan karakter.
8. Pendidikan Populis yang Merugikan Swasta
Kebijakan membuka kuota besar-besaran untuk sekolah negeri mungkin terdengar populis, tetapi tidak diiringi kajian dampak terhadap sekolah swasta. Hasilnya? Banyak sekolah swasta kehilangan siswa, terancam tutup, dan mengalami tekanan finansial. Bukannya memperluas akses pendidikan, kebijakan ini justru menambah kesenjangan dalam ekosistem pendidikan.
Rakyat Butuh Lebih dari Sekadar Gaya
Dedi Mulyadi boleh menjadi magnet media sosial. Ia hadir di layar publik dengan pesona, humor, dan narasi empatik. Namun kepemimpinan bukan soal gaya. Yang dibutuhkan rakyat adalah sistem: kebijakan yang terukur, berbasis data, dan berdampak jangka panjang.
Pemimpin yang ideal harus membumi dalam budaya, cerdas dalam visi, religius dalam etika, dan kuat dalam eksekusi kebijakan. Tanpa itu semua, kita hanya disuguhi teater kekuasaan yang meriah di permukaan, tapi hampa di dalam.
Bandung dan Jawa Barat tak butuh aktor panggung. Yang dibutuhkan adalah arsitek peradaban.***