Bandung, BandungOke.com — Wacana studi tur sekolah kembali menjadi sorotan publik Kota Bandung. Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa kegiatan studi tur bagi siswa SD dan SMP tidak bersifat wajib dan tidak boleh menjadi beban bagi orang tua murid.
Namun pernyataan ini menuai beragam tafsir, termasuk desakan agar Pemkot bersikap lebih tegas terhadap praktik sekolah yang masih menjadikan studi tur sebagai semacam “keharusan terselubung”.
“Saya mendukung penuh kebijakan Pak Wali. Yang penting jangan memberatkan masyarakat,” ujar Erwin di Balai Kota Bandung, Selasa (29/7).
Meski terdengar menenangkan, pernyataan ini dinilai sebagian kalangan belum cukup kuat menutup celah praktik komersialisasi kegiatan sekolah yang menyaru dalam bentuk wisata edukatif.
Ia menyebutkan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan dasar berada pada Pemkot Bandung, sementara SMA/SMK menjadi tanggung jawab Pemprov Jawa Barat.
“Untuk SD dan SMP, tidak ada kewajiban studi tur. Ini harus jadi perhatian,” tegas Erwin. Namun kenyataan di lapangan, sejumlah orang tua masih mengeluhkan adanya tekanan moral dari pihak sekolah jika anak mereka tidak ikut.
Pernyataan menarik lainnya datang saat Erwin menyarankan agar istilah “studi tur” diganti karena tidak berkaitan langsung dengan proses akademik.
“Ini tidak masuk nilai akademik. Jangan sampai dipaksakan apalagi ada surat edaran yang mengikat. Kita tahu tidak semua orang tua mampu. Harus bijaksana,” katanya.
Meski tidak melarang kegiatan di luar kelas seperti piknik atau kunjungan edukatif, Erwin menekankan bahwa seluruh kegiatan itu harus bersifat sukarela dan tidak memengaruhi nilai siswa. “Silakan saja, asal tidak dikaitkan dengan nilai akademik. Itu yang penting,” tambahnya.
Namun hingga kini belum ada sanksi atau instruksi tegas dari Pemkot terhadap sekolah-sekolah yang masih menyisipkan kegiatan ini sebagai bagian dari penilaian atau kurikulum tak tertulis.
Ketiadaan pengawasan itu justru membuka ruang manipulasi aturan, mengingat ada praktik oknum yang diduga menjadikan kegiatan ini sebagai ladang bisnis.
Dalam konteks Bandung sebagai kota tujuan wisata, Erwin menyebut bahwa pemerintah kota terus membenahi fasilitas publik seperti taman, kawasan heritage, dan infrastruktur lainnya.
“Banyak event, kita evaluasi terus. Wisata tematik kita dorong. Fasilitas publik kita perbaiki. Sistem pun kita benahi. Lihatlah sisi positifnya,” tandasnya.
Namun pertanyaan penting yang belum dijawab adalah, sampai kapan Pemkot Bandung hanya sekadar mengimbau tanpa memberi rambu yang lebih tegas?
Jika kegiatan studi tur dibiarkan ambigu, bukan tidak mungkin ketimpangan sosial dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan akan terus terpelihara di balik tamasya sekolah yang disebut “edukatif”.***
Editor : Deni Surya