Bandung, BandungOke.com — Satu surat dukungan dari Malaysia tiba ke meja Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan.
Tapi ini bukan sekadar korespondensi biasa. Surat dari Dewan Perniagaan dan Perindustrian Malaysia (MCCI) itu lebih terasa seperti tamparan halus, jika bukan tekanan diplomatik terhadap lambannya keputusan soal nasib Bandara Internasional Husein Sastranegara.
Dalam surat bertanggal 25 Juli 2025 dan ditandatangani Sekjen MCCI, Zaha Izrin Zahari, Malaysia menyatakan dukungan bulat agar bandara yang dulu menjadi primadona penerbangan internasional di jantung Kota Bandung itu kembali beroperasi.
Tujuannya jelas, membuka kembali jalur langsung antara kota-kota utama Malaysia—KLIA dan Subang—dengan Bandung.
“Bandung adalah simpul penting ekonomi, pendidikan, dan pariwisata di Indonesia,” tulis Zaha. Sebuah kalimat diplomatis yang sejatinya menyinggung ironi: bagaimana kota sebesar Bandung dibiarkan ‘lumpuh’ konektivitas udaranya sejak keputusan kontroversial memindahkan hampir seluruh penerbangan ke Kertajati.
Zaha bahkan mengingatkan sejarah. AirAsia, maskapai andalan Malaysia, menjadikan Bandung kota tujuan internasional pertamanya di Indonesia pada 2004. Sebuah rute yang kala itu hanya satu kali seminggu, namun tumbuh eksponensial—sebelum dihentikan dengan alasan sentralisasi yang tak pernah matang.
Kini, Malaysia bicara. Mereka menyatakan siap menjembatani maskapai dan investor yang ingin membuka kembali jalur strategis ini. Tapi pertanyaannya: apakah Pemerintah Indonesia—khususnya otoritas penerbangan dan transportasi—mendengar suara dari luar negeri lebih lantang daripada suara warganya sendiri?
Pembukaan kembali Bandara Husein bukan hanya soal rute atau penumpang. Ini adalah soal martabat kota, hak warga atas akses, dan logika pelayanan publik. Saat pelaku usaha, mahasiswa, wisatawan, dan pebisnis dari Malaysia rindu Bandung, justru sebagian warga Bandung sendiri harus menempuh dua hingga tiga jam ke Kertajati untuk terbang.
Zaha dengan lugas menyebut bahwa rute internasional Bandung–Malaysia akan mendorong sektor perdagangan, UKM, pariwisata halal, pendidikan, hingga ekonomi digital. Sebuah dukungan komprehensif, yang sayangnya justru datang dari luar negeri lebih dulu dibanding komitmen penuh dari dalam negeri.
MCCI bahkan menyatakan siap menghubungi AirAsia dan Batik Air Malaysia untuk membuka kembali rute ini. Sementara di dalam negeri, koordinasi antarlembaga seperti Kemenhub, AP II, dan Pemda Jabar masih jalan di tempat, terjebak kajian tanpa tenggat.***
Editor : Deny Surya