Ciater, BandungOke.com – Di Ciater, Kabupaten Subang, suara dentuman besi alat berat menenggelamkan canda pedagang yang biasa menyapa wisatawan.
Sejak Kamis, 7 Agustus 2025, pemerintah bersama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) menggempur ratusan warung semipermanen di sepanjang Jalan Tangkubanparahu yang telah berdiri puluhan tahun.
Dalih resminya, penataan kawasan strategis dan pengembalian fungsi ruang publik. Di balik narasi rapi itu, ada wajah muram warga yang mengandalkan periuk nasi dan kini kehilangan sumber hidupnya.
Komar (59), satu diantara pedagang yang sudah puluhan tahun berjualan, mengaku tak menolak aturan. Tapi ia menolak cara pembongkarannya.
“Kalau mau bongkar silahkan, (tapi) sediakan dulu tempat relokasi. Sampai sekarang tak ada solusi, hanya kompensasi Rp10 juta. Itu bahkan tak menutup setengah biaya renovasi,” ujarnya getir dikutip Senin (12/8/2024)
Bagi Komar dan pedagang lain, uang itu hanyalah angka di atas kertas. Di lapangan, sebagian baru saja menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah memperbaiki kios.
Para pedagang tak manampik jika informasi soal penertiban sebenarnya sudah berbulan-bulan terdengar, tapi eksekusi dilakukan mendadak. “Setiap musyawarah tidak jelas hasilnya. Tahu-tahu dibongkar. Banyak yang tidak siap,” kata Komar.
Politik Penataan dan Tebang Pilih
Kepala Seksi Ketentraman Ketertiban Satpoldam Subang, Anang Moch Widyawan, menyebut pembongkaran ini hasil komitmen penataan kawasan wisata Subang–Lembang.
Hingga kini 55 bangunan dibongkar: 35 secara mandiri, sisanya lewat petugas dan alat berat. Kompensasi dijanjikan cair pada 13 Agustus 2025.
Rakyat Selalu Jadi Korban
Namun, bagi tokoh Sunda, Rully H. Alfiandi, narasi “penataan” ini hanya menutup fakta bahwa rakyat kecil menjadi korban pertama kebijakan ruang.
“Pembongkaran kios jangan dilihat hanya dari hukum dan estetika. Harus dilihat dari kondisi ekonomi rakyat yang sedang sulit. Apalagi ada tebang pilih,” tegasnya.
“Rakyat yang memilih KDM hari ini harus menerima kenyataan, idolanya ikut memutus sendi kehidupan warga. Revolusi telah memakan anak kandungnya sendiri.” ujarnya.
Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
Di Ciater, bangunan yang dirobohkan mayoritas milik pedagang kecil. Sementara di titik lain yang juga melanggar tata ruang, beberapa bangunan permanen yang terafiliasi pemodal besar luput dari pembongkaran.
Fenomena tebang pilih ini menguatkan anggapan bahwa penataan ruang publik kerap jadi proyek politik-ekonomi yang memilih lawan paling lemah.
Ketika excavator bergerak, tak ada yang bisa melawan. Aparat berseragam, spanduk penertiban, dan ancaman pasal menjadi tembok yang lebih kokoh dari kios warga.
Bagi pemerintah, ini keberhasilan penataan.
Bagi pedagang, ini penggusuran tanpa keadilan.
Bagi pengunjung, mungkin hanya pemandangan baru.
Di tanah subur Ciater, kebun teh tetap hijau. Tapi di bawahnya, akar ekonomi rakyat sudah tercabut dan menjadi bara yang siap membesar kapan saja.***