Bandung, BandungOke.com – Ruang utama di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB pada Kamis siang itu dipenuhi energi optimisme. Spanduk besar bertuliskan International Conference on Management in Emerging Markets (ICMEM) 2025 terbentang di dinding.
Kata kuncinya: keberlanjutan. Para narasumber bergantian bicara tentang pertumbuhan ekonomi, transisi energi, hingga pemberdayaan masyarakat.
Bank Indonesia, lewat pemaparan Muslimin Anwar, menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai delapan persen pada 2029.
Angka ambisius yang disebutnya membutuhkan sinergi kuat dari kebijakan makroprudensial, dorongan kredit UMKM, hingga penetrasi sistem pembayaran digital QRIS yang kini telah lintas negara.
Di atas kertas, peta jalan itu terlihat rapi. Namun, tantangan riil di lapangan—akses modal, literasi keuangan, hingga kesenjangan digital—masih membayangi.
Dari sektor energi, Dr. Agung Wicaksono dari Pertamina menekankan strategi ganda: tetap menjaga bisnis fosil yang menjadi tulang punggung, sekaligus menapaki jalan transisi menuju energi rendah karbon. Pertamina kini berbicara soal geothermal, biofuel dari minyak jelantah, hingga program Desa Energi Berdikari.
“Kami ingin transisi energi tidak hanya menjadi jargon, tapi membawa manfaat langsung bagi masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, dunia hospitality pun tidak ingin tertinggal. Bayu Ramadhan dari Bobobox menuturkan bagaimana perusahaannya bermitra dengan UMKM lokal: dari makanan, aktivitas wisata, hingga kebutuhan operasional.
Lebih dari setengah karyawan Bobobox berasal dari masyarakat sekitar. Namun, ia mengakui tantangan terbesar ada pada regulasi yang lambat dan stigma bahwa keberlanjutan adalah “produk mahal” yang tidak semua konsumen mampu bayar.
Paling menggugah datang dari suara Tri Buana Desy Arianty, seorang wirausaha sosial dari Magelang. Ia menyoroti 2.000 kasus perkawinan anak di daerahnya, buah dari rendahnya pendidikan dan kondisi ekonomi keluarga.
Dari cerita getir itu, Desy mengangkat martabat perempuan desa dengan mengembangkan produk bambu berkelanjutan. Dari upah seribu rupiah per keranjang, para perajin kini memperoleh penghasilan lebih layak dan produk mereka merambah pasar modern.
“Keberlanjutan itu bukan hanya soal alam. Lebih dari itu, soal manusia yang diberdayakan,” katanya.
Diskusi ICMEM 2025 seakan menegaskan satu hal: keberlanjutan bukan sekadar konsep global atau jargon korporasi. Di balik target pertumbuhan, transisi energi, dan bisnis hijau, keberlanjutan sejati hanya dapat lahir bila menyentuh masyarakat paling bawah.
Dari ruang-ruang konferensi hingga desa-desa terpencil, perjalanan menuju ekonomi hijau Indonesia masih panjang. Yang dibutuhkan bukan sekadar retorika, melainkan langkah nyata.***