Bandung, BandungOke – Ulang tahun ke-49 PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bukan hanya pesta perusahaan, melainkan pernyataan politik teknologi sekaligus sosial.
Dengan tema “apungkeun” perusahaan pelat merah itu menegaskan diri sebagai poros industri kedirgantaraan nasional, sembari meluaskan kiprah ke ranah ketahanan pangan dan solusi perkotaan.
Direktur Utama PTDI, Gita Amperiawan, menegaskan bahwa usia 49 tahun menjadi pengingat atas perjalanan panjang menuju kemandirian dirgantara.
“Usia ke-49 ini bukan sekadar angka, melainkan perjalanan panjang PTDI dalam membangun kemandirian bangsa di bidang kedirgantaraan. Semangat Apungkeun menjadi pengingat agar kami terus melompat lebih tinggi, sekaligus hadir untuk masyarakat,” katanya. Sabtu (23/8)
Namun di balik gegap gempita bazar UMKM, fun run 4,9 kilometer, dan peresmian Gedung Nurtanio, terdapat dimensi lebih dalam yakni strategi membangun citra PTDI sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat.
Langkah ini terbaca jelas dalam inisiatif Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Dari khitanan massal, santunan anak yatim, donor darah, penanaman sorgum di Cirebon, hingga aplikasi DI SMART untuk armada sampah Bandung dimana semuanya menunjukkan pergeseran PTDI dari sekadar produsen pesawat menjadi aktor sosial di level lokal.
Pemerintah Kota Bandung pun memanfaatkan momentum. Wali Kota Muhammad Farhan menandatangani kesepakatan bersama PTDI untuk mengembangkan Bandung sebagai Kota Dirgantara.
Rencana pembangunan Monumen Pesawat N219 di Gerbang Tol Pasteur diproyeksikan menjadi simbol baru.
“Bukan sekadar tugu, melainkan pernyataan Bandung sebagai kota teknologi,” ujar Farhan.
“Tugu N219 nanti bukan sekadar simbol, tapi pernyataan bahwa Bandung telah hadir sebagai kota teknologi dan dirgantara,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan, menegaskan bahwa kiprah PTDI harus dibaca sebagai fondasi kemandirian bangsa.
“PTDI telah menjadi bagian denyut sejarah teknologi Indonesia, kini juga ikut menjawab kebutuhan masyarakat,” katanya.
Di tengah keterbatasan anggaran dan tantangan globalisasi, strategi PTDI memperluas kiprah lewat TJSL bisa dipahami sebagai upaya menjaga relevansi.
Sorgum di Cirebon dan DI SMART untuk sampah Bandung mungkin tak sebesar proyek pesawat N219, tetapi bisa menjadi bukti bahwa PTDI ingin melekat dalam kehidupan sehari-hari warga.
Setengah abad perjalanan PTDI memperlihatkan dua wajah, ambisi tinggi menembus langit dengan teknologi dirgantara, dan kebutuhan menjejak bumi dengan program sosial.
Kedua dimensi itu kini berpadu, meski keberhasilannya baru akan terukur pada konsistensi implementasi.
Bandung boleh jadi menyebut dirinya Kota Dirgantara, tetapi sejarah akan mencatat apakah itu hanya slogan atau sungguh menjadi ekosistem yang hidup. PTDI, pada usianya ke-49, sedang berada di persimpangan antara simbol dan kenyataan.***