Bandung, BandungOke.com – Suasana di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, pada Kamis pagi, 28 Agustus 2025, terasa berbeda.
Ratusan mahasiswa baru duduk berjejer dengan wajah penuh antusias. Mereka adalah generasi yang akan ditempa dalam ruang seni, budaya, dan kreativitas.
Di hadapan mereka, dua tokoh hadir, Rektor ISBI Bandung, Dr. Retno Dwimarwati, dan musisi sekaligus Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Kreatif, Yovie Widianto.
Acara Studium Generale ini rutin digelar setiap awal tahun akademik. Namun, tahun ini terasa istimewa. Selain menjadi ajang perkenalan dunia kampus, kegiatan bertema “Kampus, Budaya, dan Tantangan Teknologi” ini membawa misi besar, meneguhkan ISBI Bandung sebagai agen perubahan kebudayaan di tengah derasnya arus globalisasi.
Portal Budaya dan Desa sebagai Ujung Tombak
Retno menegaskan bahwa kekayaan budaya Indonesia perlu dikelola, didokumentasikan, dan dikembangkan agar tidak hanya bertahan, tetapi juga memberi manfaat ekonomi.
“Kita berharap betul bahwa apa yang kita punya, konten-konten yang kita punya di ISBI Bandung ini bisa menjadi bagian untuk mengembangkan dunia kebudayaan di Indonesia,” ujar Retno kepada wartawan usai acara. Kamis (28/8/2025)
Ia menyebutkan inisiatif digital kampus, seperti SIBUDI (Sistem Informasi Budaya Indonesia) dan SIWATI (Sistem Informasi Warisan Tangible Intangible Indonesia). Keduanya diharapkan menjadi rujukan tak hanya di Jawa Barat, melainkan juga di level nasional dan internasional.
Lebih jauh, Retno menekankan pentingnya desa sebagai benteng kebudayaan.
“Kalau teman-teman kuliah di sini, menggali di sini, kemudian kembalilah ke wilayahnya. Ujung tombak kebudayaan itu ada di desa. Dari satu desa saja bisa ada ratusan objek pemajuan kebudayaan,” katanya.
Baginya, mahasiswa ISBI Bandung bukan hanya calon seniman, melainkan calon pemimpin budaya yang siap memperkuat identitas bangsa.
“Mereka belajar, menimba ilmu di ISBI, dan setelah lulus kembali ke wilayahnya masing-masing untuk membangun, menguatkan agar jauh berkembang, dan bisa menjadi agen kemajuan kebudayaan,” pungkas Retno.
Yovie dan Romantisme Bandung
Sorak tepuk tangan riuh ketika Yovie Widianto naik ke podium. Musisi yang kini dipercaya sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Ekraf itu mengaku memiliki kedekatan emosional dengan Bandung dan dunia seni.
“Saya ada keterikatan secara batin, secara romantisme dengan kota Bandung dan juga berkesenian. Saya melihat begitu bersemangatnya dan bakat-bakat hebat di sini,” ujarnya.
Yovie menilai, bakat-bakat mahasiswa ISBI bisa menjadi akar bagi lahirnya produk ekonomi kreatif Indonesia. Ia melihat potensi besar kampus ini sebagai ruang lahirnya seniman, budayawan, dan pegiat ekraf yang siap menulis cerita baru.
Namun, Yovie juga mengingatkan tentang tantangan teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), yang bisa menggeser peran manusia.
“AI itu bukan musuh kita, AI bisa jadi mitra untuk mengembangkan sekaligus menjaga agar nilai budaya tidak hilang. Seperti halnya cinta sejati, jangan sampai perjuangan manusia tergantikan oleh sesuatu yang artifisial,” katanya.
Kepada mahasiswa baru, Yovie menitip pesan agar berani tampil berbeda.
“Berbeda adalah modal kita untuk diferensiasi. Masuk ISBI adalah sebuah kepercayaan diri dan kebanggaan. Saya berharap Indonesia menjadi besar karena orang-orang yang berbakat dan bangga akan keseniannya,” tegasnya.
Mahasiswa Baru, Harapan Baru
Tahun akademik ini, ISBI Bandung menerima 643 mahasiswa baru yang tersebar di 13 program studi, mulai dari D3 Kriya Seni hingga S1 Seni Teater.
Dari jumlah itu, Program Studi Televisi dan Film menjadi yang paling banyak diminati dengan 100 mahasiswa, disusul Seni Karawitan (99 mahasiswa) dan Antropologi Budaya (80 mahasiswa).
Bagi mereka, Studium Generale adalah pintu pertama untuk memahami dunia kampus, sekaligus panggilan untuk menjaga dan mengembangkan kebudayaan bangsa.
Di luar gedung, matahari Bandung siang itu terasa hangat. Seperti wajah-wajah muda yang baru saja mendengar pesan penuh makna dari Rektor ISBI Bandung dan Yovie.
Mereka sadar, kuliah di ISBI bukan sekadar belajar seni, melainkan juga menanggung amanah untuk menjaga identitas budaya Indonesia di tengah dunia yang terus berubah.
ISBI Bandung bukan menara gading. Ia adalah “menara air”, mengalirkan ilmu, nilai, dan semangat kepada masyarakat. Dari kampus inilah, harapan lahirnya agen-agen kebudayaan baru disemai, untuk Indonesia yang lebih berakar dan berdaya.***