Bandung, BandungOke – Di tengah riuh gelombang unjuk rasa yang meluas di berbagai daerah, suara tenang datang dari kalangan akademisi.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Barat memilih mengambil peran sebagai penyeimbang, bukan dengan menambah teriakan di jalan, melainkan dengan mengingatkan bangsa akan nurani dan akal sehat.
Ketua APTISI Jawa Barat, Prof. Eddy Soeryanto Soegoto, menyebut perguruan tinggi bukan sekadar ruang belajar, tetapi juga benteng moral di tengah guncangan sosial.
“Kami melihat gejolak ini jangan sampai menjadi bara yang memecah bangsa. Jalan keluar dari krisis bukan dengan kekerasan atau kebijakan elitis, melainkan melalui dialog, empati, dan tanggung jawab bersama,” ujarnya Selasa (2/9/2025)
Suara yang Menjaga Empati
APTISI mengingatkan DPR agar tidak kehilangan empati. Ketika masyarakat sedang terhimpit ekonomi, kebijakan publik seharusnya menjadi penyangga, bukan beban tambahan.
Bagi Prof. Eddy, inilah saatnya wakil rakyat menunjukkan teladan kesederhanaan. “Kalau rakyat diminta berhemat, wakil rakyat pun harus berhemat. Membatalkan kenaikan tunjangan dan perjalanan dinas luar negeri adalah wujud nyata empati,” katanya.
Seruan ini bukan sekadar kritik, tetapi ajakan moral: bahwa keadilan sosial bukan jargon, melainkan tanggung jawab nyata yang ditanggung bersama.
Menjaga Ruang Aspirasi Mahasiswa
Sebagai payung perguruan tinggi swasta di Jawa Barat, APTISI juga mengingatkan pimpinan kampus agar memberi ruang bagi mahasiswa menyampaikan aspirasi.
Namun ruang itu, kata Prof. Eddy, harus dijaga agar tetap konstruktif. “Mahasiswa adalah energi moral bangsa. Mereka harus kita damping, bukan kita halangi, tapi juga jangan sampai terseret arus destruktif,” tuturnya.
Pesan itu terasa sebagai peringatan halus: mahasiswa boleh kritis, tetapi tetap harus berpijak pada nilai akademis dan tanggung jawab sosial.
Ajakan untuk Aparat
Tidak hanya ke kampus, APTISI juga menyorot peran aparat. Represivitas, menurut mereka, hanya akan menambah luka. “Represif bukan jalan. Aparat harus persuasif, karena yang dibutuhkan masyarakat sekarang adalah rasa aman, bukan rasa takut,” ujar Prof. Eddy.
Selain itu, ia mendesak aparat penegak hukum untuk transparan mengungkap dalang kerusuhan dan penjarahan. Dalam pandangannya, keadilan harus nyata hadir di tengah masyarakat agar kepercayaan publik tidak runtuh.
Forum Dialog Nasional
Menyadari kompleksitas persoalan bangsa, APTISI Jawa Barat mendorong lahirnya forum dialog nasional yang melibatkan pemerintah, DPR, akademisi, aparat, tokoh masyarakat, dan mahasiswa.
Bagi Prof. Eddy, ruang dialog itulah yang bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan politik dan ketegangan sosial.
“Bangsa ini besar karena persatuan. Jangan biarkan ada pihak yang menunggangi keresahan rakyat untuk memecah belah kita. Jalan terbaik adalah duduk bersama, membuka hati, dan mencari solusi,” ia menegaskan.
Menjaga Nurani di Tengah Duka
APTISI juga menyampaikan duka cita mendalam atas korban jiwa yang jatuh dari masyarakat, mahasiswa, hingga aparat. Doa mereka mengalun sebagai penutup pernyataan sikap, tetapi sekaligus menjadi pengingat: bahwa konflik selalu menyisakan luka kemanusiaan.
Dalam nada lirih, Prof. Eddy menyampaikan harapannya, “Kami berduka atas semua korban. Semoga peristiwa ini tidak terulang kembali. Kampus dan akademisi akan terus berperan menjaga nurani bangsa.” pungkasnya.***






