Jakarta, BandungOke– Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membatasi kenaikan impor bensin non-subsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan 2024 dinilai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berpotensi merusak pasar.
Analisis KPPU menyebut kebijakan ini bukan hanya menggerus ruang gerak badan usaha (BU) swasta, tetapi juga memperkuat dominasi Pertamina hingga konsumen kehilangan pilihan.
“Pembatasan impor ini telah memengaruhi kelangsungan operasional badan usaha swasta yang bergantung sepenuhnya pada impor, menghilangkan pilihan konsumen atas produk BBM non-subsidi, dan memperkuat dominasi pasar Pertamina,” tegas Deswin Nur, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Kamis (18/9).
Dominasi Pertamina Kian Menguat
Data KPPU menunjukkan, dari tambahan volume impor, BU swasta hanya kebagian 7.000–44.000 kiloliter. Bandingkan dengan Pertamina Patra Niaga yang mendapat tambahan sekitar 613.000 kiloliter.
Alhasil, pangsa pasar Pertamina di segmen BBM non-subsidi meroket ke level ±92,5 persen, sedangkan BU swasta hanya berkisar 1–3 persen.
Kondisi ini membentuk struktur pasar yang sangat terkonsentrasi, yang rawan mematikan kompetisi sehat. “Jika konsumen hanya punya satu pilihan, ini bukan sekadar soal harga, tapi juga soal ketahanan energi dan keberlanjutan investasi,” ujar Deswin.
Risiko Distorsi Pasar
KPPU menilai kebijakan ini bertabrakan dengan prinsip-prinsip Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) yang mereka terbitkan tahun lalu.
Ada dua masalah besar: pembatasan pasokan dan pengaturan impor melalui satu pintu. Dua hal ini berpotensi melahirkan diskriminasi harga, risiko market foreclosure, hingga sinyal buruk bagi investor sektor migas.
“Jika BU swasta dipaksa membeli pasokan dari kompetitor, jelas itu menciptakan ketidakadilan dan merusak iklim usaha,” tambah Deswin.
Mendesak Dievaluasi
KPPU mendorong agar kebijakan impor BBM non-subsidi ini segera dievaluasi secara berkala. Menurut mereka, stabilitas energi dan neraca perdagangan memang penting, tetapi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan persaingan sehat dan hak konsumen atas pilihan.
“Setiap kebijakan publik seharusnya selaras dengan prinsip persaingan usaha. Tujuannya bukan hanya menjaga ketahanan energi, tapi juga membuka ruang investasi dan memberi manfaat bagi masyarakat luas,” pungkas Deswin.***






