Bandung, BandungOke.com – Dalih pelestarian lingkungan kembali dipakai pemerintah untuk menutupi fakta pahit rakyat kecil digusur tanpa kepastian.
Revitalisasi Situ Ciburuy di Kabupaten Bandung Barat menelan korban, bukan hutan beton atau bangunan mewah, melainkan rumah-rumah warga miskin yang telah lama hidup di tepian situ.
Sekitar 12 keluarga terpaksa kehilangan tempat tinggal dan usaha. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi buru-buru melempar janji manis: membiayai kontrakan rumah selama setahun.
“Beri saya waktu untuk mencari solusi,” ucapnya penuh percaya diri. Tetapi siapa yang bisa hidup hanya dengan janji? Rumah kontrakan hanya sekadar jeda sebelum penggusuran berikutnya.
Kebijakan ini terasa seperti drama klasik rakyat diusir demi proyek yang dikemas dengan bahasa indah “mengembalikan fungsi ekologis” dan “meningkatkan daya tampung air.”
Kepala Dinas SDA Jabar, Dikky Ahmad Sidik, menegaskan normalisasi akan memperluas kapasitas air dari 15 hektare ke 25 hektare. Narasi teknokratik yang terdengar rapi di podium, tapi di lapangan, rakyat terombang-ambing tanpa kepastian.
Kepala Desa Ciburuy, Firmansyah, terang-terangan menyebut warganya sudah pasrah. Namun ada satu jeritan sederhana yang seolah tak terdengar pemerintah: biaya pindah.
“Mereka sudah menerima kebijakan tersebut, namun mohon pengertian dari pemerintah untuk biaya kepindahan,” katanya.
Revitalisasi yang katanya demi ekologi dan pariwisata ternyata mempertontonkan wajah keras negara: aparat birokrasi yang lebih lihai membongkar bangunan ketimbang mencari solusi manusiawi.
Bukankah sudah berulang kali kita menyaksikan, proyek berbalut jargon lingkungan justru berakhir dengan korban rakyat kecil?
Situ Ciburuy mungkin kembali luas, daya tampung airnya mungkin normal, pariwisatanya mungkin menggeliat.
Tapi di mana ruang bagi warga yang digusur? Apakah mereka sekadar angka dalam laporan proyek, atau memang sudah ditakdirkan hanya menjadi “kolateral” dari sebuah ambisi pembangunan?