Bandung, BandungOke.com – Indonesia kerap dielu-elukan sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Dari sabana hijau yang membentang, garis pantai beribu kilometer, hingga satwa endemik seperti gajah, harimau, dan badak, negeri ini sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi magnet ekowisata dunia.
Namun, potensi sebesar itu, menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Ricky Avenzora, belum tergarap dengan baik.
“Yang muncul justru konflik manusia dengan satwa liar, kerusakan alam, dan distribusi manfaat yang timpang. Masyarakat kecil hanya dapat recehan,” kata Prof. Ricky dalam Konferensi Pers Pra-Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University, dikutip (28/9/ 2025)
Dalam orasi bertajuk Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia, ia menekankan bahwa pariwisata Indonesia terjebak dalam tiga masalah pokok: kalah bersaing, kerusakan potensi alam-budaya, dan ketidakadilan manfaat ekonomi.
Menurutnya, solusi ada pada pergeseran paradigma fundamental. Pariwisata tidak boleh lagi semata dimaknai sebagai kebebasan bepergian, melainkan sebagai perjalanan berkesadaran—yang menjaga alam, melestarikan budaya, sekaligus menyejahterakan rakyat.
Lebih dari itu, Prof. Ricky menegaskan bahwa harta karun terbesar Indonesia ada pada budaya Nusantara. Dengan lebih dari 1.300 etnis, ratusan seni bela diri, hingga ribuan folklor, Indonesia punya peluang membangun industri kreatif berbasis ekowisata budaya yang berkelas dunia.
Namun, perubahan tidak bisa hanya bertumpu pada wacana. Ia menilai sektor swasta harus didorong sebagai inkubator bisnis komunal.
EIGER Adventure Land, misalnya, disebut sebagai contoh positif yang layak mendapat dukungan penuh.
Sebaliknya, ia mengkritik praktik penghentian dan pencabutan izin usaha wisata di sejumlah daerah. “Pola hentikan dan bongkar adalah bentuk arogansi jabatan yang merugikan masyarakat luas dan negara,” tegasnya.
Sebagai jalan keluar, ia menawarkan tiga strategi:
1. Academic Reengineering, melahirkan SDM pariwisata berwawasan ekowisata.
2. Pergeseran pembangunan, dari fokus turis ke fokus masyarakat lokal.
3. Regulasi ramah, yang mendukung usaha rakyat dan dunia bisnis berkomitmen ekowisata.
Ekowisata, pada akhirnya, bukan sekadar tren. Ia adalah jalan baru yang menyatukan alam, budaya, dan manusia—sebuah visi pariwisata Indonesia yang berkeadilan.***
Editor : Deny Surya