Maluku, BandungOke.com – Pulau Buru kembali menjadi sorotan. Sebuah tim kecil dari Research and Creative (RnC) Buru eXpedition – Rediscover Buru melakukan eksplorasi sosial-budaya di Desa Kaiely dan Masarete, Kecamatan Teluk Kaiely, Kabupaten Buru, Maluku, sejak 20 hingga 25 September 2025.
Dengan metode imersif, tim yang terdiri dari Aldiansyah (Wanadri), Zongga, Azizah, Griselda (Kappa Fikom Unpad), dan Aji (Kanal Buru) hidup bersama masyarakat setempat untuk mendokumentasikan warisan sejarah, dinamika sosial, hingga potensi ekowisata yang masih jarang dikenal publik.
Sisa benteng VOC, peninggalan Islam, kisah tahanan politik pasca 1965, serta perjumpaan dengan Suku Alifuru menjadi bagian dari catatan perjalanan mereka.
“Di Kaiely–Masarete, kami menelusuri jejak sejarah dari bangunan kolonial hingga kehidupan sosial masyarakat dan potensi wisatanya,” ujar Aldiansyah, perwakilan tim RnC dalam ketarang resminya, Rabu (1/10/2025)

Selain menelisik sejarah, tim juga bertemu langsung dengan Suku Alifuru di Kampung Waefefa. Komunitas adat ini masih menjaga tradisi berburu dan menjaga harmoni dengan hutan.
Dalam kesehariannya, mereka mengenakan kain lestari di kepala, membawa tombak, parang, hingga ranjau, serta selalu ditemani anjing pemburu.
“Berburu tidak mengenal musim. Tombak punya banyak nama, seperti neoro, klawit, hingga pipengan. Itu bukan sekadar alat, tapi identitas kami,” kata Pak Elis, anggota Suku Alifuru.
Meski hidup dari berburu, mereka tetap menjaga kelestarian hutan. Beberapa wilayah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan sakral sejak zaman nenek moyang
“Kalau adat hilang, kita hilang,” kata Pak Elis, menegaskan pentingnya menjaga akar budaya di tengah arus modernisasi.
Potret sosial-ekonomi masyarakat juga menjadi sorotan. Demam emas di Gunung Botak kontras dengan geliat penyulingan minyak kayu putih di Masarete.
Pak Euwi, salah satu warga, menceritakan peralihannya dari penambang emas menjadi penyuling minyak kayu putih karena faktor usia. Daun Melaleuca cajuputi yang dipetik dari perbukitan kini menjadi sumber penghidupan barunya.

Di sisi lain, Pulau Nirwana dengan terumbu karang yang terjaga menawarkan peluang besar ekowisata laut.
Tim juga memetakan potensi ekowisata Pulau Nirwana di perairan Masarete, pulau kecil sepanjang sekitar 500 meter dengan terumbu karang yang masih terjaga. “Ada beberapa titik snorkeling dengan karang yang bagus dan beragam,” kata Abang Nyong, pemuda lokal yang aktif memandu wisata ke lokasi tersebut.
Rangkaian Buru eXpedition sendiri sudah dimulai sejak April 2025 dan terus berlanjut dengan berbagai kegiatan, termasuk penjelajahan keliling Pulau Buru oleh Tim Dayung Jelajah Nusantara yang kini memasuki Namrole.
Rangkain buru eXpedition
Program Buru eXpedition – Rediscover Buru dimulai pada 19 April 2025, dilepas secara resmi oleh Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Tahap awal berupa Ekspedisi Tebing Terjal Kakumahu di Desa Nanali. Saat ini, rangkaian berlanjut dengan Tim Dayung Jelajah Nusantara (DJN) yang melakukan sirkumnavigasi Pulau Buru menggunakan kayak laut sejak 20 September 2025. Pada 29 September, tim singgah di Namrole, Kabupaten Buru Selatan, dan disambut Bupati La Hamidi dengan tarian Cakalele
Bupati La Hamidi juga memberikan dukungan logistik berupa BBM untuk perahu pendamping tim. Ia berharap ekspedisi ini mampu mengangkat potensi pariwisata dan perikanan Pulau Buru. Ekspedisi ini melibatkan kerja sama berbagai pihak, antara lain Wanadri, Mahatva, Fakultas Pertanian Unpad, PERDAMI, BASARNAS, TNI AU, TNI AD, Kodam Pattimura, pemerintah daerah, universitas lokal, tokoh adat, tokoh masyarakat, serta sponsor dari BUMN dan swasta.
Dukungan pemerintah daerah, tokoh adat, hingga masyarakat lokal menjadi penopang keberlangsungan ekspedisi ini.
Hasil dokumentasi lapangan nantinya akan diolah menjadi seri tulisan feature yang diharapkan bisa membuka kembali memori sejarah, sekaligus memperkenalkan kekayaan sosial dan budaya Pulau Buru kepada publik yang lebih luas.***