Bandung, BandungOke.com – Kota Bandung kembali menampilkan wajah buramnya tata kelola publik.
Di balik narasi “penutupan sementara” yang diumumkan Pemerintah Kota Bandung, terselip aroma konflik kepentingan yang lebih pekat dari lumpur kandang gajah di Bandung Zoo.
“Penutupan ini bukan solusi, tapi eksekusi diam-diam terhadap 710 satwa yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara,” ujar Bisma Bratakusumah, Ketua Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), dengan nada tajam.
Dalam rilis resmi Pemkot pada 7 Oktober 2025, alasan penutupan disebut demi penyelesaian sengketa antara dua pihak yayasan. Namun Bisma menepis mentah-mentah narasi itu.
“Ini bukan soal sengketa. Ini soal hidup dan mati satwa. Kalau Pemkot tak tahu bedanya, artinya mereka sedang main politik di atas penderitaan hewan,” sergahnya.
Faktanya, YMT sudah memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung pada 23 Mei 2025. Putusan itu menyatakan tindakan Satpol PP yang menutup kebun binatang sebelumnya adalah melawan hukum.
Namun, hanya empat bulan berselang, Pemkot kembali mengulang babak yang sama. Pertanyaannya: hukum siapa yang sebenarnya berlaku di Kota Bandung?
Lantas mengapa Pemkot Bandung ngotot menutup kawasan konservasi yang sah secara hukum? Siapa yang diuntungkan dari kekacauan ini? Dan mengapa suara para ahli konservasi tak terdengar di balik hiruk-pikuk politik kota?
“Ini bukan kebun binatang pribadi. Ini titipan negara melalui izin dari KLHK. Kami ini hanya perpanjangan tangan negara untuk menjaga makhluk hidup,” kata Bisma. “Jadi kalau Pemkot menutup tanpa dasar hukum yang kuat, sama saja mereka menutup tangan negara sendiri.”
Ironinya, di tengah klaim Bandung sebagai kota hijau dan ramah lingkungan, kebijakan yang diambil justru mencekik lembaga konservasi tertua di Jawa Barat itu.
Satwa-satwa di Bandung Zoo bukan sekadar hewan pameran, melainkan simbol warisan ekologi. Tapi kini, nasib mereka tergantung pada keputusan politik yang lebih cepat berubah daripada cuaca Dago sore hari.
Bisma tak menutup kemungkinan membawa persoalan ini ke ranah hukum kembali. “Kalau perlu, kami laporkan balik. Ini bukan lagi soal izin, tapi soal nyawa,” ujarnya, menegaskan bahwa pihaknya siap membuka semua dokumen, izin, dan bukti hukum di meja publik.
Bandung Zoo kini seperti panggung drama yang kehilangan naskah. Pemerintah bicara “penyelesaian damai”, tapi di lapangan, satwa-satwa menatap kosong, bingung antara lapar dan haus.
“Kalau Pemkot ingin berdamai, berdamailah dengan hukum dan hati nurani,” kata Bisma menutup pernyataannya.
Dan di tengah kabut lembah Tamansari, pertanyaan paling getir menggantung: apakah Bandung benar-benar peduli pada kelestarian, atau sekadar mencintai pencitraan?***