Bandung, BandungOke.com — Di balik pagar besi Kebun Binatang Bandung yang tersandera “Police Line”, suara rakyat mulai menggema.
Ratusan orang dari Aliansi Bandung Melawan (ABM) turun ke jalan pada Senin, 13 Oktober 2025, menuntut keadilan bagi Kebun Binatang Bandung, oase hijau yang kini kian kehilangan napas karena birokrasi dan politik kepentingan.
Sejak 6 Agustus lalu, kebun binatang tertua di Jawa Barat itu dibungkam garis polisi. Tak sekadar penutupan administratif, bagi ABM, garis kuning itu adalah “simbol pembungkaman,” bukti betapa kekuasaan bisa menekan sejarah panjang dan hak pengelolaan yang diwariskan keluarga Ema Bratakoesoema selama lebih dari sembilan dekade.
Aksi dimulai dari Taman Kebun Seni di Jalan Tamansari. Dengan iringan kendang penca dari mobil komando, massa berkonvoi menuju kantor Wali Kota Bandung. Di tengah sorak, tujuh tuntutan dibacakan lantangs—sebuah manifesto ekologis yang menolak tunduk pada oligarki kota.
“Kami menolak Bandung jadi milik investor. Kota ini milik warganya. Kami menuntut keadilan untuk satwa, untuk sejarah, dan untuk hak ruang publik,” ujar koordinator aksi, Apipudin disambut tepuk tangan peserta.
Police Line yang Membungkam Sejarah
Pemasangan police line di Bandung Zoo dianggap ABM tidak memiliki dasar yang kuat. Mereka menilai tindakan itu sebagai bentuk intervensi sepihak Pemerintah Kota Bandung dan BPKAD, yang justru mengabaikan putusan Mahkamah Agung yang telah inkracht dan menguatkan hak pengelolaan Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT).
Sejumlah tokoh seperti Rd. Dhina Ahmad, Isbul dan Sulhan Syafi’ turut hadir. Mereka menyebut langkah Pemkot sebagai tindakan politis yang mencerminkan keberpihakan pada modal besar.
“Bandung Zoo bukan lahan investasi, melainkan situs konservasi dan sejarah,” tegas Dhina Ahmad. “Jika Pemkot mengabaikan keputusan hukum, maka apa bedanya mereka dengan pelanggar hukum yang mereka sendiri hukum?”
Suara dari Lapangan: Peringatan Pertama untuk Wali Kota
Kordinator aksi Apipudin menegaskan bahwa unjuk rasa ini merupakan bentuk peringatan pertama bagi Wali Kota Bandung agar bersikap adil dan rasional.
“Aksi ini merupakan peringatan pertama kepada Wali Kota Bandung untuk bersikap adil,” ujar Apipudin di sela aksi. “Bagi kami, adil itu artinya membuka police line di kebun binatang dan mengembalikan pengelolaan kepada pihak yang berhak, yaitu pengurus Yayasan keluarga Bratakusuma, bukan Tony Sumampau.”
Ia menambahkan, salah satu dari tujuh tuntutan utama adalah agar Wali Kota Bandung sadar sejarah dan menghormati fakta bahwa kebun binatang telah dikelola keluarga Bratakusuma selama lebih dari 90 tahun.
“Kami hanya meminta Wali Kota bersikap rasional dan menghargai sejarah. Kebon binatang ini bukan tempat politik atau investasi. Ini ruang publik warga Bandung,” tegasnya.
Surat berisi tujuh tuntutan tersebut diterima langsung oleh Kepala BKAD (Badan Keuangan dan Aset Daerah) Agus Slamet Firdaus, yang mewakili Pemerintah Kota Bandung.
Soal kemungkinan aksi lanjutan, Apipudin tak menampik.
“Tentu saja kalau peringatan pertama ini tidak ditindaklanjuti, kami akan datang lagi dengan massa yang lebih besar, warga Kota Bandung akan turun,” katanya. “Namun kami ingin berpikir positif bahwa Wali Kota akan merespons peringatan ini.”
Tujuh Tuntutan dari Warga untuk Wali Kota
Isi surat ABM menohok, menyoroti ketidakadilan pengelolaan aset publik dan ancaman terhadap ruang hijau kota.
1. Wali kota diminta bertindak adil, bukan sebagai pelayan oligarki.
2. Menghormati sejarah pengelolaan Bandung Zoo oleh keluarga Ema Bratakoesoema selama 90 tahun.
3. Membuka police line dan mengembalikan pengelolaan kepada pewaris sah YMT.
4. Menghentikan peran BPKAD sebagai “alat kekuasaan” dan melaksanakan putusan MA.
5. Mendesak Menteri Kehutanan cq. Dirjen KSDAE turun tangan melakukan mediasi terbuka.
6. Menegaskan lahan kebun binatang adalah ruang publik dan ruang hijau warga Bandung.
7. Mendorong media dan jurnalis mengedepankan jurnalisme ekologis, berpihak pada keberlanjutan hidup rakyat banyak.
Pemerintah Kota dalam Sorotan
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Bandung belum memberikan penjelasan terbuka kepada publik soal dasar hukum penutupan kebun binatang.
Langkah mereka dinilai tidak transparan dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Kritikus tata kota menilai kasus Kebun Binatang Bandung adalah cermin dari lemahnya tata kelola aset publik di Bandung di mana ruang hijau bisa disegel dengan selembar pita kuning, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis, ekonomi, dan sosialnya.
Kebun Binatang Bandung, Cermin Tata Kota yang Retak
Kisruh ini bukan semata soal sengketa lahan, melainkan ujian moral bagi pemerintah daerah: apakah Bandung masih berpihak pada warganya, atau telah sepenuhnya jatuh ke tangan kepentingan ekonomi dan politik.
Kebun Binatang Bandung kini menjadi simbol, bukan hanya tentang nasib satwa yang terkunci di balik jeruji, tetapi juga tentang nasib warga yang dipinggirkan dari ruang hidupnya sendiri.
“Garis kuning itu bukan hanya di kebun binatang,” kata seorang orator sebelum bubar, “itu juga di hati pemerintah yang telah menutup mata.”
Aksi berakhir damai, tapi pesan moralnya menggantung di udara: Bandung sedang diujiantara nurani publik dan kuasa modal.***