Bandung, BandungOke – Di tengah riuh suara burung dan gemericik air di dalam kawasan Bandung Zoo, sebuah pertanyaan besar menggema di luar pagar kawatnya, mau dibawa ke mana masa depan kebun binatang tertua di Bandung ini?
Diskusi publik bertajuk “Tata Kelola Kebun Binatang, Mau Dibawa ke Mana?” di Anatomi Coffee, Jalan Merdeka, Rabu (16/10/2025), menjadi ajang terbuka bagi warga Bandung untuk menyuarakan keresahan mereka.
Di antara kopi yang mendingin dan wajah-wajah tegang, terselip rasa kehilangan bukan hanya soal ruang publik, tetapi tentang jati diri.
“Kami memandang ini sebagai upaya sistematis pencaplokan hak-hak orang Sunda, bahkan ada nuansa konspiratif yang melibatkan berbagai unsur. Pada akhirnya kebun binatang ini tidak lagi menjadi simbol identitas orang Bandung,” ujar Rully Alfiady, Koordinator PEWARIS (Pejuang Warisan Sunda), dengan nada getir.
Bagi Rully, Bandung Zoo bukan sekadar lahan konservasi atau tempat wisata keluarga. Ia adalah memori kolektif yang jadi penanda sejarah tentang bagaimana masyarakat Sunda berinteraksi dengan alam dan satwa.
Kini, simbol itu seolah tercerabut dari akarnya oleh kekuatan ekonomi dan politik yang menutup ruang dialog.
“Kebun Binatang Bandung adalah kebanggaan warga. Jangan sampai tempat ini berubah menjadi alat kepentingan kelompok tertentu,” tegasnya.
Pernyataan Rully menguak dimensi baru dalam polemik ini, dimensi kultural yang jarang disentuh dalam perdebatan hukum dan administratif. Di balik sengketa aset dan pengelolaan, ada narasi besar tentang identitas dan penghapusan ruang sosial khas Bandung yang mulai terpinggirkan.
Birokrasi yang Mandek, Identitas yang Tergerus
Sementara itu, M. Indra Purnama, Direktur Eksekutif Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC), menilai konflik yang berlarut di Bandung Zoo adalah hasil dari “penyakit kronis” tata kelola publik yang tak pernah sembuh.
“Kalau dari awal tata kelolanya baik, seharusnya permasalahan ini tidak berlarut-larut. Sekarang yang penting adalah menunggu hasil hukum yang mengikat sebagai pijakan semua pihak,” ujar Indra.
Indra menyebut konflik ini sudah menyeberangi berbagai era kepemimpinan tanpa pernah menemukan muara penyelesaian. Lemahnya koordinasi dan minimnya peran negara membuka ruang bagi tarik-menarik kepentingan yang tidak selalu berpihak pada publik.
“Kehadiran Pemkot Bandung adalah bentuk kehadiran negara dalam menjamin ruang publik yang aman dan nyaman. Kalau tidak, permasalahan seperti ini bisa muncul lagi di masa depan,” tegasnya.
Bagi Indra, langkah Polda Jawa Barat membuka kembali police line di kawasan kebun binatang menjadi titik balik. “Minimal tidak ada perut yang terganggu dan tidak ada satwa yang terlantarkan. Selama penutupan, pihak yayasan tetap berupaya melakukan perawatan dan membayar gaji karyawan,” jelasnya.
Namun, di balik kata “tata kelola” dan “proses hukum”, masih tersisa ketegangan yang lebih dalam tentang siapa sebenarnya yang berhak menentukan arah masa depan ruang publik warisan kota ini.
Bandung, Sunda, dan Ruang Publik yang Terancam
Kebun Binatang Bandung bukan sekadar halaman bermain anak-anak atau lahan konservasi satwa namun lebih dari itu, ia adalah ruang kultural yang mencerminkan kepribadian masyarakat Sunda yang lembut, menghargai alam, dan bersahabat dengan tradisi.
Ketika ruang seperti ini diperebutkan oleh kepentingan korporasi dan kekuasaan, yang dipertaruhkan bukan hanya aset, tapi juga identitas.
Rully Alfiady menyebut konflik ini “bukan akhir,” melainkan tanda bahaya yang harus segera disadari warga Bandung. “Ini soal marwah urang Sunda. Kalau ruang-ruang simbolik seperti Bandung Zoo diambil alih, kita kehilangan pijakan sejarah dan kebanggaan lokal,” ujarnya menutup diskusi.
Ketika pemerintah daerah lamban, dan suara warga hanya bergema di ruang diskusi, Bandung Zoo berdiri di ambang perubahan besar, antara menjadi ruang publik yang hidup dan berakar, atau sekadar catatan kaki dalam sejarah kota yang kehilangan jati dirinya.***






