Jakarta, BandungOke – Setiap kali KA Singasari meninggalkan Stasiun Pasar Senen, ada denyut panjang yang mengalir dari ibu kota ke jantung Pulau Jawa.
Deru mesin dan gesekan rel itu bukan sekadar suara transportasi, melainkan gema ekonomi yang bergerak, dari warung kaki lima hingga kawasan industri di sepanjang lintasan.
Sejak beroperasi pada 2017, Singasari seolah menjahit ulang keterhubungan yang sempat longgar antarwilayah: dari Bekasi dan Karawang yang padat pabrik, sampai Purwokerto dan Yogyakarta yang hidup dari pariwisata dan pendidikan.
Hingga ke Blitar—kota ziarah di bawah bayang makam Bung Karno—kereta ini menjadi semacam nadi yang menghubungkan sejarah dan harapan.
PT KAI mencatat lebih dari 336 ribu penumpang menumpang Singasari sepanjang Januari–September 2025, meningkat dari tahun sebelumnya. Lonjakan itu menjadi bukti bahwa transportasi berbasis rel bukan hanya alat mobilitas, tapi bagian dari infrastruktur sosial yang menopang ekonomi bawah.
“Setiap perjalanan KA Singasari adalah kisah keterhubungan antara budaya, ekonomi, dan kehidupan masyarakat,” ujar Anne Purba, Vice President Public Relations KAI. Sabtu (17/10/2025)
Namun, di tengah narasi kemajuan itu, ada pertanyaan yang muncul dari para penumpang: seberapa jauh konektivitas ini benar-benar menyentuh kebutuhan warga kecil?
Di beberapa titik, jalur rel masih berbagi ruang dengan permukiman kumuh; di lain tempat, pembangunan stasiun modern kerap menyingkirkan pedagang kecil yang dulu hidup dari arus penumpang.
Singasari memang menandai era mobilitas hijau—efisien, rendah emisi, dan digital—tapi perjalanan sejatinya belum selesai. Tantangan sebenarnya ada pada bagaimana transportasi publik tak hanya cepat, tapi juga adil: menggerakkan ekonomi tanpa meninggalkan mereka yang tak sempat membeli tiket.***






