Maluku. BandungOke — Laut yang tenang di Pantai Jikumerasa, Namlea, menjadi saksi penutupan sebuah perjalanan panjang. Lima pendayung Tim Kayak–Dayung Jelajah Nusantara Wanadri akhirnya merapat ke bibir pantai itu, 19 Oktober 2025 pukul 11.00 WIT, menuntaskan misi sirkumnavigasi Pulau Buru sejauh 404,2 kilometer dalam 29 hari.
Mereka memulai perjalanan di titik yang sama sebulan sebelumnya, menaklukkan ombak, arus, dan kesunyian laut yang panjang. Kayuhan demi kayuhan menjadi perenungan antara manusia dan alam.
“Selama 29 hari kami mendayung, 29 hari menyatu dengan laut dan diri sendiri. Pulau Buru mengajarkan kami arti kagum, lelah, dan cinta pada alam yang sesungguhnya,” tutur Nia Anjelina (27), pendayung perempuan asal Padang, Sumatera Barat, yang menjadi salah satu anggota tim. Senin (20/10/2025)
Di antara wajah letih yang tersenyum, sambutan hangat datang dari masyarakat dan pemerintah daerah. Asisten I Setda Kabupaten Buru, Nawawi Tinggapi, berdiri di bibir pantai, menyambut tim ekspedisi dengan penghargaan yang sederhana tapi tulus.
“Kami berterima kasih banyak atas kegiatan ekspedisi Wanadri ini. Semoga temuan data penjelajahan dan penelitian menjadi tambahan literasi dan kebermanfaatan bagi masyarakat Buru,” ujarnya mewakili Bupati Buru.

Peluh di Laut, Tumbuh di Tanah
Bagi Arjun (23), pemuda lokal yang ikut mendayung, perjalanan ini bukan sekadar mengelilingi pulau, tapi menembus batas diri. “Perjalanan laut bisa menjadi pengalaman hidup, di mana kita belajar untuk berselancar di atas ombak yang naik turun,” katanya, tersenyum di bawah terik matahari yang membakar kulit.
Namun ekspedisi ini bukan hanya soal mendayung. Ketika ombak berhenti, tangan-tangan mereka menanam kehidupan baru. Di Desa Kaki Air, Kecamatan Kayeli, tim Wanadri bersama warga menanam 4.000 bibit mangrove, sebagian besar dibawa dengan 40 perahu Bala-Bala (ketinting) yang melaju beriringan menembus teluk.
“Terima kasih banyak sudah datang dan singgah di beta punya desa, untuk menanam mangrove,” ucap Rahmawati Dafrullah (53), Kepala Desa Kaki Air, dengan mata berbinar.
Baginya, kedatangan para pendayung muda itu seperti membawa harapan baru di tanah pesisir yang perlahan tergerus abrasi.
Achmad Jerry, Ketua Program Pengembangan Pesisir Terpadu (ICDP-WJCTF) Wanadri, menegaskan bahwa mangrove adalah lebih dari sekadar pohon pantai.
“Penanaman mangrove tidak hanya membantu masyarakat mencegah abrasi dan meningkatkan potensi wisata serta ekonomi perikanan, namun mangrove juga memiliki kemampuan memperbaiki kualitas air,” ujarnya.
Jerry menjelaskan bahwa proyek penanaman di Desa Kaki Air juga menjadi bagian dari upaya fitoremediasi alami, untuk menekan dampak cemaran logam berat seperti merkuri yang mengancam perairan sekitar.
Menanam Kesadaran di Laut dan Diri Sendiri
Buru eXpedition 2025 bukanlah ekspedisi tunggal. Di balik kayuhan dan lumpur mangrove, ada kolaborasi besar antara Wanadri, Mahatva, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, PERDAMI, BASARNAS, TNI AU dan AD, Kodam Pattimura, Pemprov Maluku, serta Universitas Iqra Buru.
Selain menjelajahi laut, mereka mendaki Gunung Kapalatmada, memanjat Tebing Kaku Mahu, hingga melaksanakan operasi katarak dan program literasi masyarakat. Semua kegiatan itu disatukan oleh semangat yang sama: mengabdi pada alam dan manusia.
Kini, setelah laut tenang dan pasir kembali rata, yang tertinggal dari Buru eXpedition bukan hanya jejak kaki di pasir, tetapi benih kesadaran: bahwa menjaga alam bukan sekadar kegiatan, melainkan perjalanan batin.
“Kami berharap ekspedisi ini menjadi bentuk nyata cinta terhadap alam Indonesia dan memperkuat kesadaran bahwa menjaga bumi adalah tanggung jawab bersama,” ujar Jerry.
Di bawah langit biru Namlea, pantai kembali sepi. Hanya suara ombak dan barisan mangrove muda yang menari di tepi air — seperti melanjutkan pesan para pendayung Wanadri bahwa pelestarian dimulai dari satu kayuhan, satu akar, dan satu niat untuk menjaga kehidupan.***






