Bandung, BandungOke – Di tengah dinamika keamanan maritim dan meningkatnya ancaman pengawasan udara tanpa awak, PT Pindad (Persero) tampil percaya diri.
Lewat pertemuan strategis dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, perusahaan pelat merah ini tak sekadar memamerkan kemampuan teknis, tapi juga menawarkan solusi nyata untuk kemandirian alat pertahanan nasional.
Kunjungan Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Irvansyah ke markas besar Pindad di Bandung, Rabu (22/10), bukan sekadar seremoni.
Ia datang bersama jajaran strategisnya untuk melihat langsung lini produksi alutsista buatan anak negeri dari senjata kaliber berat hingga teknologi anti-drone yang kini menjadi kebutuhan mendesak di laut Nusantara.
“Bakamla sudah menggunakan senjata SM5 kaliber 12,7 mm dan amunisinya. Kami ingin memperluas kerja sama dengan menghadirkan alat anti-drone serta combat boat bersenjata 30 mm untuk patroli laut,” ujar Direktur Utama Pindad, Sigit P. Santosa, dikutip Minggu (26/10/2025)
Sigit menjelaskan, sistem anti-drone yang dikembangkan Pindad dilengkapi antarmuka digital (interface system) yang bisa dioperasikan dalam dua mode yakni portable dan mobile.
Teknologi ini, katanya, dirancang agar bisa beradaptasi di berbagai medan, termasuk platform laut yang membutuhkan reaksi cepat terhadap ancaman udara tak terdeteksi radar konvensional.
“Produk kami juga telah digunakan di kapal buatan PT PAL Indonesia untuk mendukung operasi TNI AL,” tambah Sigit, menegaskan bahwa sinergi antar-BUMN pertahanan sudah mulai menunjukkan bentuk konkret.
Namun, di balik euforia kemandirian industri pertahanan, terselip pekerjaan rumah besar: kemampuan serap dan integrasi antar-lembaga keamanan laut.
Laksamana Madya Irvansyah mengakui, Bakamla kini tengah membangun National Maritime Surveillance System, sistem pantau nasional yang menghubungkan titik-titik pengawasan laut dari Sabang hingga Merauke.
“Kami memang sedang mencari alutsista yang bisa diandalkan. Akan menjadi kebanggaan bila kami bisa menggunakan buatan dalam negeri seperti produk Pindad,” ujarnya.
Kunjungan itu menandai momentum penting: pertemuan antara kebutuhan nyata penjaga kedaulatan laut dan kapasitas industri pertahanan nasional yang selama ini lebih banyak disorot di darat.
Kritik dan Tantangan
Meski langkah Pindad patut diapresiasi, ada catatan kritis yang tak bisa diabaikan. Penguasaan teknologi anti-drone dan sistem kapal cepat bersenjata masih memerlukan uji lapangan intensif.
Tantangan terbesar adalah interoperability kemampuan agar sistem Pindad dapat terintegrasi dengan perangkat radar dan kontrol maritim milik Bakamla yang berbasis teknologi campuran, sebagian besar impor.
Selain itu, para pengamat industri pertahanan menilai pemerintah perlu memperkuat policy linkage antara pengguna (seperti Bakamla dan TNI) dengan produsen (BUMN dan swasta).
Tanpa kebijakan pembelian jangka panjang dan dukungan riset yang konsisten, produk seperti anti-drone dan combat boat Pindad bisa berhenti di tahap pameran, bukan produksi massal.
Dalam konteks ini, kerja sama Pindad–Bakamla menjadi ujian awal sejauh mana komitmen Indonesia mengurangi ketergantungan impor pertahanan dapat diwujudkan.
Apalagi di tengah meningkatnya tensi geopolitik di Laut Natuna dan perbatasan timur, kemampuan pengawasan udara dan laut menjadi hal strategis, bukan sekadar simbol kemandirian teknologi.***






