Bandung, BandungOke – Dalam gelaran Bandung Fair 2025 di Kiara Artha Park, Jumat, 31 Oktober 2025, Pemerintah Kota Bandung kembali menegaskan komitmennya membangun warganya agar lebih tangguh menghadapi arus ekonomi digital.
Namun, di balik narasi edukasi publik tentang literasi keuangan, masih tersimpan pekerjaan rumah besar yakni rendahnya ketahanan masyarakat terhadap jebakan keuangan digital, mulai dari judi online hingga pinjaman ilegal.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, memuji peran Diskopukm dan para mitra yang mengatur kegiatan ini. Ia menekankan pentingnya kemampuan masyarakat mengatur uang di tengah derasnya layanan keuangan berbasis aplikasi.
“Kemampuan masyarakat memahami dan mengelola uang dengan bijak menjadi sangat penting,” ujar Erwin.
Pesannya terang, namun faktanya masih banyak warga yang terjebak dalam pola konsumsi digital tanpa perencanaan. Literasi keuangan sering berhenti pada slogan hemat dan menabung, padahal persoalan lebih kompleks: kemampuan merencanakan pendapatan, menghindari kesalahan finansial, serta memahami risiko layanan digital.
Erwin menyebut perencanaan keuangan sebagai “benteng ketahanan ekonomi keluarga”. Namun, benteng ini belum kokoh. Banyak pelaku usaha mikro justru jadi sasaran empuk pinjol ilegal akibat rendahnya akses dan literasi.
OJK: Judi Online Bukan Sekadar Bahaya Finansial
Hadir sebagai narasumber, Rani Puspadharma dari OJK Jawa Barat mengupas sisi gelap ekonomi digital: judi online dan pinjaman daring ilegal. Ia menyebut keduanya bukan hanya merampas uang, tetapi juga daya juang mental.
“Judi online tidak memberikan manfaat apa pun, justru membawa kerugian besar baik finansial maupun mental,” ucap Rani.
Rani mengingatkan masyarakat agar mewaspadai tautan aplikasi yang disusupkan lewat penipuan digital. Ia merekomendasikan masyarakat berinvestasi pada instrumen yang legal dan logis seperti emas, serta aktif meningkatkan edukasi finansial.
Namun, kritiknya jelas: edukasi tidak cukup bila struktur pengawasan masih longgar. Penindakan terhadap praktik ilegal kerap kalah gesit dibanding predator digital yang terus memodifikasi modus.
Di Antara Edukasi dan Realita
Acara sosialisasi ini menawarkan pengenalan dasar soal pengelolaan uang dan investasi legal. Tapi jurang antara pengetahuan dan praktik di lapangan masih lebar. Tantangan sebenarnya ada pada bagaimana kebijakan publik mengawal masyarakat yang setiap hari direcoki tawaran keuangan instan.
Bandung boleh bangga dengan upaya edukatifnya, namun tanpa strategi jangka panjang—mulai dari perlindungan data, mekanisme pengaduan yang cepat, hingga penguatan koperasi sebagai benteng ekonomi akar rumput—literasi hanya akan berhenti sebagai jargon.
Masyarakat butuh lebih dari sekadar seminar: mereka memerlukan sistem yang berpihak, pelatihan berkelanjutan, dan akses modal aman untuk naik kelas. Tanpa itu, ekonomi digital hanya akan melahirkan pemenang yang itu-itu saja.***






