Lumba-lumba Mengiringi Kayak, Upacara Adat di Desa-desa, dan Jejak Pengetahuan dalam Alam
Maluku, BandungOke – Laut di sekitar Pulau Buru nyaris selalu tampak tenang bila didengar dari daratan.
Namun di permukaan airnya, petualangan senyap berlangsung sepanjang hampir satu bulan.
Tim Segara dari Buru eXpedition 2025 menempuh sirkumnavigasi Pulau Buru dengan kayak laut sejauh 404,2 kilometer dalam 29 hari.
Mereka tak berjalan sendirian. Sebuah speedboat Dinas Kesehatan Kabupaten Buru mendampingi di kejauhan, sebagai kapal logistik sekaligus pengaman.
Tim Nusa, dikomandani anggota Wanadri angkatan Hujan Lembah, Pranata Indra, mengoordinasikan dukungan di laut bersama Kapten La Ono Rumbia, ABK Musmulyadi dan La Rangky Rumbia.
Di beberapa titik, laut menjadi panggung penuh kejutan. Gerombolan lumba-lumba muncul, kadang ikan paus berukuran dua kali lebih besar dari kapal pendukung melintas perlahan—seolah mengawal perjalanan.
Berdasarkan rujukan literatur, satu jenis lumba-lumba yang terpantau adalah Tursiops aduncus atau lumba-lumba hidung botol Indo-Pacific, terlihat di perairan Waplau.
Bagi tim, perjumpaan itu bukan sekadar romantika pelayaran. Ia jadi pengingat betapa perairan Buru menyimpan kekayaan ekologis yang belum sepenuhnya dipahami.
Belajar dari Desa-desa
Perjalanan tak berhenti di laut. Di daratan, Tim Research and Creative (RnC) menyelusuri kampung-kampung: Kayeli, Masarete, Waefefa, Grandeng, Wamlana, Balubalu, Waegrahe, dan Waemite.
Mereka meneliti cara masyarakat menjaga pengetahuan lokal dan ruang hidupnya. Alam bukan objek yang dipisahkan dari manusia; ia menyatu dalam adat, bahasa, dan ingatan kolektif.
“Di Pulau Buru, kami menemukan bahwa pengetahuan tidak hanya tersimpan dalam teks atau teori, tetapi hidup dalam tatanan adat, dalam cara manusia memaknai hutan, laut, dan gunung sebagai bagian dari kosmosnya. Di sini, relasi manusia dan alam bukan hubungan eksploitasi, melainkan etika keberadaan,” ujar Aldiansyah, anggota tim RnC dari Wanadri.
Bagi Zacharya Griselda, anggota RnC dari Kappa Fikom Unpad, Buru adalah ruang belajar tentang diri sendiri.
“Pulau Buru bagi saya adalah ruang belajar tentang bagaimana manusia dan alam saling menautkan makna hidup. Di sana, saya melihat pengetahuan tidak tersimpan dalam buku, atau teori, tapi hidup dalam adat, bahasa, dan cara mereka menjaga hutan serta lautnya,” ujarnya.
“Pengalaman di Buru juga membuka mata saya tentang bagaimana sejarah dan ingatan kolektif membentuk identitas masyarakatnya. Lebih dari penelitian, perjalanan ini menjadi refleksi tentang hubungan manusia dengan alam dan dengan masa lalunya sendiri,” imbuhnya.
Dari satu desa ke desa lain, tim menemukan bagaimana masyarakat merawat ruang hidupnya bukan lewat wacana, melainkan tindakan sehari-hari—berkelindan dengan laut, gunung, dan hutan sebagai saudara tua.
Lumbung Harapan di Sekolah
Di jalur pendidikan, Buru eXpedition menyalurkan 160 paket tas dan alat tulis—didukung Mizan Group, Teman Satu Arah, Dharmalia Center, dan Eiger—ke sejumlah sekolah: SD dan MTS Desa Nalali, SD Raheriat, hingga SD Waegrahe di tepi Danau Rana.
Tim juga mengajar penulisan cerita untuk siswa SMP 21 di Desa Waeura. Di pulau yang jauh dari hiruk-pikuk, pendidikan dibangun lewat gestur kecil yang berarti.
Layanan Kesehatan & Ekologi
Di sektor kesehatan, ekspedisi mendukung layanan medis dan membantu operasi katarak pada 119 orang. Di pesisir Desa Kaki Air, tim menanam 4.000 bibit mangrove secara bertahap.
Hutan bakau ini diproyeksikan menjadi penyangga alami kawasan pesisir, tempat ikan bertelur sekaligus pelindung dari abrasi.
Sementara itu, tim Mahatva Fakultas Pertanian Unpad meneliti flora hutan dan mencapai puncak Kapalatmada (Kaku Ghegan), 2.683 mdpl.
Ada pula pendakian tebing Kaku Mahu setinggi 350 meter, membuktikan bahwa Buru bukan hanya destinasi laut, tetapi juga menantang secara vertikal.
Ruang yang Menyambungkan
Sirkumnavigasi kayak, kehadiran lumba-lumba, riset sosial budaya, hingga pembagian tas sekolah dan penanaman mangrove memperlihatkan satu benang merah: Pulau Buru bukan hanya lanskap; ia adalah ruang yang menyambungkan—antara manusia, alam, dan ingatan.
Di akhir perjalanan, yang tertinggal bukan hanya jarak 404 kilometer yang terlewati, tetapi kesadaran bahwa menjaga Buru berarti merawat pengetahuan dan lautnya, gunung dan desanya, sekaligus masa depan yang mereka bayangkan bersama.
Akhir pekan di Buru mengajarkan satu hal:
Alam tak menunggu untuk dipahami—ia meminta kita berjalan bersamanya.***






