Bandung, BandungOke – Siang itu, udara Bandung terasa teduh meski lalu lintas di sekitar Alun-Alun tetap semarak. Menjelang adzan Jumat berkumandang,
Masjid Raya Bandung yang dulu disebut Masjid Agung kembali jadi titik tumpu warga. Dari pelataran, seorang perwira tinggi berseragam hijau masuk dengan langkah yang tidak tergesa, Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Kosasih.
Ia kembali bukan sekadar untuk kewajiban salat Jumat, tetapi juga untuk menemui masa kecil yang pernah ia tinggalkan di rumah ibadah ini.
Selepas salam, Pangdam duduk bersila di dekat jamaah lain. Bersama para nazihir masjid, ia bercakap santai tentang perjalanan hidup, peran masjid, juga ihwal bagaimana rumah ibadah ini pernah jadi saksi masa belianya.
“Saya sangat senang bisa kembali ke sini,” ujarnya membuka cerita. “Waktu kecil, saat SD, saya pernah salat di masjid ini. Tapi hanya di luar, tidak berani masuk ruang utama. Sekarang setelah bintang dua, jadi Pangdam, saya bisa salat di depan khotib.”
Kalimat itu membuat ruang diskusi kecil itu berbaur antara kehangatan dan tawa ringan. Ada rasa pulang.
Anak Marbot yang Naik Pangkat
Pangdam mengenang masa-masa ketika hidupnya tak jauh dari rumah ibadah. “Karena keterbatasan ekonomi, saya sempat tinggal di masjid dan menjadi marbot,” kisahnya.
Dari SD hingga SMA, ia merangkap peran pelajar di pagi hari, penjaga masjid dalam banyak waktu lainnya. Namun ketekunan adalah sikap yang terus melekat.
Ia sering menjadi bintang kelas, sebelum akhirnya memilih jalur militer, keputusan yang membawanya ke panggung kehidupan yang lebih luas, hingga kini menjadi Pangdam III/Siliwangi.
Masjid, baginya, bukan hanya ruang ibadah. “Ia bisa menjadi pusat pendidikan karakter, ekonomi, dan mental,” katanya. Di zaman Rasul, ia menambahkan, masjid menjadi ruang sosial yang hidup—tempat kegiatan berdenyut dan masyarakat bertemu.
Silaturahmi Dua Arah
Kunjungannya ke Masjid Raya Bandung pada Jumat, 31 Oktober 2025 ini adalah balasan setelah sepekan sebelumnya para nazihir berkunjung ke Markas Kodam III/Siliwangi. Dialog kedua pihak berlangsung hangat.
Ketua Nazhir MRB, Roedy Wiranata Kusumah, mengapresiasi kerapuhan waktu yang disisihkan sang Pangdam. “Dalam kesibukannya berbenah di Citarum Harum, beliau menyempatkan diri salat Jumat di masjid heritage ini,” kata Roedy.
Sosok Kosasih, lanjutnya, punya nilai juang yang patut diteladani. Dari anak marbot menjadi komandan, jejak hidupnya seperti satu ayat panjang yang tak hanya dibaca, tapi dirasakan.
Dari percakapan yang mengalir siang itu, keduanya sepakat pada satu hal: Masjid Raya Bandung—yang sudah berdiri lebih dari dua abad—layak terus menjadi pusat ibadah kebanggaan warga kota. Di sini, tradisi, sejarah, dan perjalanan masa kini bertemu dalam satu garis waktu yang damai.
Di halaman masjid, jamaah mulai berangsur bubar. Kosasih melangkah perlahan, seperti merawat ingatan yang sempat tertinggal puluhan tahun lalu, anak kecil yang tak berani masuk ruang utama, kini kembali sebagai Pangdam yang duduk di saf depan—di rumah lama yang tetap setia menunggu.***






