Bandung, BandungOke – Dalam perang panjang menghadapi HIV/AIDS, Pemerintah Kota Bandung menyadari bahwa persoalannya tak lagi sekadar soal penularan virus, tetapi juga soal luka sosial bernama stigma.
Di tingkat kelurahan, para Warga Peduli AIDS (WPA) kini menjadi garda terdepan membangun empati, menyebarkan informasi, dan mendampingi mereka yang hidup dalam senyap.
Upaya ini kembali ditegaskan Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, saat menghadiri kegiatan WPA di Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Jumat, 31 Oktober 2025. Ia menempatkan WPA bukan sekadar “kader kesehatan”, melainkan barisan yang membongkar tembok diskriminasi sekaligus mempercepat penanggulangan HIV di akar rumput.
“Setiap orang yang hidup dengan HIV tetap berhak atas martabat, pekerjaan, dan kasih sayang,” ujar Erwin.
Pernyataan itu seperti menggarisbawahi bahwa penularan HIV kerap bergerak lebih lambat dibanding penghakiman sosial. Banyak orang yang hidup dengan HIV memilih diam, takut pada cibiran lingkungan—yang sering kali lebih menyakitkan daripada penyakitnya sendiri.
Misi Triple Zero, dari Global ke Gang-Gang Kota
Pemkot Bandung, melalui KPA, terus mengejar target global Triple Zero: Zero infeksi baru, Zero kematian akibat AIDS, dan Zero stigma. Ambisi ini terdengar mulia, namun jalan mewujudkannya tidak mudah.
Kolaborasi lintas sektor—pemerintah, tenaga medis, akademisi, hingga tokoh masyarakat—menjadi prasyarat. WPA menjadi ujung tombak di lapangan, memikul pekerjaan yang tak jarang memerlukan keberanian mental: mengetuk pintu, mendengar, dan membangun kepercayaan.
Surat Edaran Pemeriksaan Kesehatan Calon Pengantin menjadi salah satu instrumen yang diandalkan Pemkot Bandung. Kebijakan itu diharapkan mampu menekan penularan sejak hulu—sebelum sebuah rumah tangga dibentuk. Meski begitu, publik masih menanti efektivitasnya setelah implementasi di lapangan kerap terbentur minimnya sosialisasi dan tabu pembicaraan soal HIV.
Di Jamika, Suara Melawan Sunyi
Di Kelurahan Jamika, Erwin menekankan bahwa kunci gerakan ini bukan sekadar distribusi informasi teknis, tetapi cara menyampaikannya. Kader WPA diminta mengolah kemampuan berkomunikasi yang empatik dan tidak menghakimi—sebuah pendekatan yang penting ketika berhadapan dengan mereka yang mengidap HIV maupun yang rentan.
“Keterampilan berbicara dengan empati dan mendengarkan dengan hati adalah kunci,” tutur Erwin.
Lurah Jamika, Budiana, menegaskan hal senada. Ia mendorong warga untuk bersuara lantang melawan AIDS dan mendukung mereka yang terdampak. Seruannya seperti membalik narasi publik yang selama ini lebih sering sumbang terhadap ODHIV.
“Suara kita akan menjadi senjata ampuh,” ujar Budiana.
Di Antara Ideal dan Kenyataan
Meski pemerintah bicara kolaborasi, tantangannya tetap besar. Di tengah berbagai kampanye kesehatan, stigma justru masih berjalan lebih kencang. Banyak ODHIV memilih tak membuka diri; takut diusir pekerjaan atau dijauhi keluarga. Di sinilah WPA mengisi ruang yang tak tersentuh oleh spanduk dan imbauan resmi.
Gerakan ini menuntut lebih dari sekadar dukungan moral; perlu pembiayaan yang berkesinambungan, pelatihan kader, dan penguatan layanan puskesmas sebagai simpul rujukan. Tanpa itu, target Triple Zero hanya jadi slogan.
Bandung telah memulai langkahnya, tetapi perjalanan masih panjang. Di medan yang sepi sorotan ini, WPA terus bekerja: mengetuk kesadaran, menyembuhkan luka sosial, dan menjaga martabat mereka yang hidup di bawah bayang-bayang virus maupun prasangka.






