Jakarta, BandungOke – Dari beranda Stasiun Tanjung Balai, aroma garam laut seolah menyusup ke sela hiruk pikuk penumpang.
Kereta api yang datang dari Medan, empat jam sebelumnya, berhenti perlahan. Rangkaian itu menjadi wajah modern dari jalur rel tua yang menghidupi pesisir Teluknibung selama lebih dari satu abad.
Di kota kecil bernama Tanjung Balai, stasiun kelas II itu tetap menjadi urat nadi mobilitas Sumatra Utara. Meski berusia lebih dari 100 tahun—didirikan pada 1915 oleh perusahaan kolonial Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)dan kehadirannya belum tergantikan.
Dulu, rel yang dibangun seakan disiapkan untuk mengusir hasil bumi: kelapa sawit, karet, dan komoditas perkebunan lain menuju Pelabuhan Teluk Nibung dan kemudian berlayar jauh ke Eropa.
Kini, ia hidup dalam wujud baru: simpul yang menghubungkan masyarakat pesisir ke pusat aktivitas ekonomi di Medan.
“Tidak hanya sebagai tempat naik turun penumpang, tetapi juga simbol keterhubungan antarwilayah dan keberlanjutan layanan publik,” ujar Vice President Public Relations KAI, Anne Purba. “Kami memastikan layanan selalu aman, nyaman, dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.”
Nafas Baru di Rel Tua
KA Putri Deli adalah penopang utama pergerakan warga. Kereta subsidi ini—beroperasi tiga kali sehari—menjadi tumpuan banyak orang.
Pekerja, pelajar, wisatawan, hingga mereka yang mencari layanan kesehatan di kota besar, semua menggantungkan perjalanan pada rangkaian yang setia ini.
Dalam tiga bulan terakhir, Juli sampai September 2025, Putri Deli mencatat 326.888 pelanggan—angka tertinggi di Sumatra Utara. Rata-rata 600–700 orang naik dan turun setiap hari, kira-kira 21 ribu penumpang tiap bulan.
Bagi masyarakat pesisir, rel adalah pembantu setia yang tak banyak menuntut. Tarif terjangkau membuat masyarakat tetap bisa bergerak kapan perlu, bahkan ketika guncangan harga BBM dan ekonomi sering terasa di wilayah pinggir.
Berbenah Menjadi Ruang Publik
Tak sekadar tua dan bersejarah, Stasiun Tanjung Balai terus membenahi diri. Ruang tunggu berpendingin, mushola yang bersih, toilet yang tertata, loket, hingga mesin Check-In Counter kini menjadi standar.
Suasananya lebih rapi, ritmis dengan langkah para penumpang yang menunggu jadwal keberangkatan.
Di luar stasiun, becak motor berjajar menunggu, mengantar penumpang ke pusat kota. Lokasi stasiun yang strategis menjadikannya mudah diakses dari berbagai penjuru.
“Bagi kami, setiap stasiun adalah kisah tentang perjalanan bangsa, dari sejarah masa lalu menuju kemajuan masa depan,” ujar Anne.
Warisan Kolonial yang Terus Bertumbuh
Berdiri di atas tanah kolonial bukan berarti terperangkap dalam masa lalu. Stasiun Tanjung Balai terus beradaptasi, menjaga fungsinya sebagai simpul sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
KAI, dalam pengelolaannya, berkomitmen untuk memperkuat pelayanan transportasi publik di Sumatra Utara. Di jalur Pantai Timur, stasiun ini menjadi pintu akhir sekaligus awal—tempat masyarakat memulai cerita mereka: bekerja, belajar, pulang, dan pulih.
Seratus tahun lebih, roda besi itu terus berputar, menyambungkan orang-orang.
Karena di Tanjung Balai, rel bukan hanya jalan; ia adalah ingatan. Dan masa depan pun terus melaju.***






