Bandung, BandungOke – Diskusi ilmiah yang digelar Program Studi Magister Teknik Air Tanah FITB ITB bersama Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI) kembali menegaskan urgensi tata kelola air tanah terpadu sebagai fondasi menuju visi Indonesia nirbanjir dan berketahanan air.
Di tengah potensi air melimpah dari hujan, sungai, dan danau, negeri ini justru terperangkap pada persoalan klasik yakni distribusi tak merata, eksploitasi tak terkendali, dan pengawasan yang lemah.
Secara regulasi, pengelolaan air tanah berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, di lapangan, praktiknya jauh dari ideal.
Ketimpangan pemanfaatan dan pengawasan longgar membuat penurunan muka air tanah, amblesan lahan, hingga intrusi air laut di pesisir mengintai.
FITB ITB menegaskan publik, termasuk pelaku industri dan regulator saat ini masih kerap gagal membedakan air tanah, mata air, dan air permukaan. Minimnya pemahaman membuat penegakan aturan serta konservasi berlangsung serampangan.
“Pengambilan air tanah yang terkontrol dapat menjaga keberlanjutan sumber daya air tanah serta mencegah penurunan muka air tanah dan kerusakan lingkungan,” kata Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL), Agus Cahyono, dalam Diskusi Ilmiah Jejak Air Pegunungan, Mata Air dan Airtanah, Antara Alam, Industri, dan Masyarakat di ITB, Selasa (4/11/2025).
Tantangan Regulasi & Ketergantungan Industri
Meski payung hukum telah tersedia, lemahnya pengawasan serta pembatasan debit menjadi lubang besar. Ribuan titik pengambilan air tanah di Jawa Barat misalnya, masih beroperasi tanpa izin.
Pemerintah memberi tenggat hingga Maret 2026 tenggat yang diperkirakan tidak mudah dipenuhi tanpa penindakan tegas.
FITB menegaskan pengambilan air tanah dalam tak boleh dilakukan tanpa kajian daya dukung lingkungan.
Kawasan pegunungan sebagai wilayah resapan (recharge area) semakin tertekan akibat pembangunan dan deforestasi. Kondisi ini memperlambat pengisian ulang akuifer yang krusial sebagai penyangga ekosistem.
Belajar dari Kumamoto
Di Jepang, Kota Kumamoto menjadi model. Kebutuhan domestik dan industri dipenuhi sepenuhnya dari air tanah, namun tetap lestari karena keseimbangan antara pengambilan dan pengisian dijaga. Kuncinya: ilmu pengetahuan, pengawasan, dan komitmen politik.
Indonesia sejatinya tak kekurangan potensi, hanya kerap kehabisan arah. Pendekatan integratif, seperti konsep Integrated Water Resources Management (IWRM), disebut penting untuk mengakhiri watak sektoral pengelolaan air di Indonesia.
Prinsip Dublin 1992 menegaskan bahwa air terbatas, bernilai ekonomi, perlu partisipasi publik, dan memperhatikan peran perempuan menjadi pelajaran yang belum seluruh daerah terapkan.
Human Capital, Pondasi yang Terlupakan
FITB ITB dan PAAI sepakat penguatan sumber daya manusia menjadi kunci. Pendidikan tinggi perlu melahirkan ahli hidrogeologi yang mampu bekerja lintas sektor, menggabungkan aspek teknis, sosial, hingga ekonomi dalam tata kelola air.
Tanpa itu, jargon Indonesia nirbanjir hanya akan jadi selarik slogan yang tercecer di poster-poster kampanye kebijakan lingkungan.***






